Artikel ke-1.818
Oleh: Dr. Adian Husaini (www.adianhusaini.id)
Dalam beberapa hari ini beredar video pengakuan dari beberapa tokoh politik bahwa mereka sebenarnya juga melakukan kecurangan. Bahkan, ada yang menyatakan, dulunya mereka biasa menipu, dan sekarang ganti ditipu. Ada yang mengaku, bahwa partai-partai juga memiliki kepala daerah, yang berwenang mengangkat petugas pemilu.
Pada akhirnya, banyak tokoh politik mengajak untuk memikirkan sistem pemilu yang lebih baik kedepan, agar kecurangan demi kecurangan bisa dikurangi. Ada yang mengusulkan untuk memilih partai saja; tidak memilih orang. Ongkosnya akan jauh lebih murah. Ada yang mengusulkan agar dalam Pemilu kedepan, digunakan sistem pencoblosan secara online.
Ada juga yang mengusulkan kita kembali saja ke UUD 1945 yang asli. Jadi, Presiden kembali dipilih oleh MPR; tidak dipilih langsung oleh rakyat. Belajar dari Pemilu 2024, konon, sebagian besar rakyat memilih calon presiden bukan karena hal-hal yang substansial, tetapi karena faktor bantuan atau karena ketidaktahuan.
Tahun-tahun kedepan, tampaknya, diskusi dan perdebatan tentang sistem politik dan kenegaraan di Indonesia akan semakin marak. Tentu saja, itu patut disambut gembira. Kita berharap, para elite bangsa dan para ilmuwan – juga ulama – dengan serius dan ikhlas memikirkan dan mendiskusikan masalah ini. Setelah 25 tahun era reformasi berjalan, sudah cukup banyak pelajaran berharga yang bisa diambil.
Betapa pun berat dan peliknya masalah yang kita hadapi, tetapi tidaklah benar bahwa semuanya sudah rusak. Masih banyak elite bangsa yang berpikir jernih dan memiliki semangat perbaikan. Apalagi, kaum muslim dilarang berputus ada untuk mendapatkan rahmat Allah. Harapan perbaikan harus selalu disuarakan dan diupayakan.
Sudah lebih dari 100 tahun bangsa Indonesia berjuang untuk meraih kemerdekaan, mempertahankan kemerdekaan, dan mengisi kemerdekaan. Belajar dari para pendiri bangsa, maka perlu dilakukan dialog ilmiah yang lebih mendasar tentang worldview bangsa yang disepakati bersama. Dalam pidatonya, 1 Juni 1945, Soekarno menyebutkan pentingnya kita memiliki philosophische grondslag atau weltanschauung sebagai bangsa yang merdeka.
Setelah itu, terjadi banyak sekali perdebatan tentang dasar negara. Mulai perdebatan di BPUPK (1945), Majelis Konstituante (1955-1959), dan seterusnya. Masalah yang paling menyita perhatian ketika itu adalah tentang hubungan Islam dan negara.
Para tokoh Islam ketika itu mengusulkan agar negara Indonesia diatur dengan agama Islam. Artinya, Islam ditempatkan sebagai dasar negara. Tetapi, usul ini mendapat banyak penolakan. Jika melihat pada hasil Pemilu 1955, jumlah yang menghendaki Islam sebagai dasar negara sekitar 44 persen.
Perdebatan tentang masalah ini sebenarnya sudah diusulkan oleh Bung Karno, yaitu disepakatinya Piagam Jakarta, pada 22 Juni 1945. Tetapi, selama puluhan tahun, reaksi penolakan terhadap Piagam Jakarta terus berlangsung. Hingga tahun 1965, Presiden Soekarno tetap mempertahankan pendapatnya, bahwa Piagam Jakarta itulah yang dapat mempersatukan Indonesia.
Lanjut baca,
PASCA PEMILU 2024, PERLU KESEPAKATAN LAGI TENTANG WELTANSCHAUUNG BANGSA (adianhusaini.id)