Artikel ke-1.689
Oleh: Dr. Adian Husaini (www.adianhusaini.id)
Dalam sebuah diskusi di Fakultas Hukum satu universitas di Yogyakarta, Juni 2007, muncul pertanyaan menarik dari seorang mahasiswa: bagaimana sebenarnya strategi penerapan hukum Islam di Indonesia? Menurut dia, kesannya, selama ini syariat Islam banyak diteriakkan sebagai jargon, ketimbang sebagai suatu gerakan yang sistematis.
Pertanyaan itu menarik, karena muncul pada mahasiswa fakultas hukum. Karena merupakan suatu kesan, maka kesan itu bisa salah atau bisa benar, tergantung informasi yang sampai pada si mahasiswa, karena kesan adalah persepsi.
Tentu saja, kesan itu perlu diperhatikan, karena soal penegakan syariat juga tidak lepas sama sekali dari masalah kesan atau ’imej’. Untuk membangun kesan yang semakin positif, kita berharap semakin banyak juru bicara penegakan syariat yang juga para profesor di bidang hukum Islam, atau para dosen di Fakultas Syariah.
Para akademisi itulah yang harusnya berada pada jajaran paling depan dalam upaya penerapan syariat Islam di Indonesia. Apalagi, saat ini, isu syariat bukan merupakan isu yang tabu, tetapi isu yang biasa saja, karena berbagai kalangan, baik muslim maupun non-Muslim sudah terbiasa dengan bank syariah, ekonomi syariah, asuransi syariah, pegadaian syariah, obligasi syariah, dan sebagainya.
Tampilnya para akademisi bidang hukum Islam dalam upaya penegakan syariat Islam sangat diperlukan agar isu ini tidak dianggap sebagai isu pinggiran, tetapi juga merupakan isu akademis ilmiah. Bukankah tujuan kita mendidik ribuan sarjana syariah adalah untuk memperjuangkan syariat Islam? Tentu aneh, jika ada sarjana syariah justru menjadi anti-syariah; ada yang rajin belajar Islam tetapi justru anti-Islam.
Selama ini, masyarakat menyaksikan banyaknya fenomena keanehan-keanehan seputar pelaksanaan hukum Barat yang dipaksakan kepada masyarakat Muslim. Misalnya, dalam kasus seputar konflik diantara beberapa selebriti Indonesia.
Ada selebritis terlibat konflik fisik. Pihak yang terluka kemudian melapor ke polisi. Pelakunya ditangkap dan dijebloskan ke penjara. Lalu, atas inisiatif berbagai pihak, terjadilah perdamaian; kedua pihak saling memaafkan. Tapi, kata pengacara kedua pihak, karena kasusnya sudah masuk ke pengadilan, maka peradilan itu tidak bisa dihentikan. Sebab, kata mereka, ini kasus pidana, bukan kasus perdata yang bisa diselesaikan secara damai berdasarkan kesepakatan.
Itulah hukum dan sistem paradilan yang berlaku di Indonesia. Unsur ’maaf’ dan ’perdamaian’ tidak diperhitungkan untuk penghentian kasusnya. Bandingkan hal itu dengan sistem qishas dalam Islam. Pembunuh pun bisa bebas, jika keluarga korban mengampuninya. Dalam sistem hukum Barat yang berlaku di Indonesia saat ini, hak pengampunan itu bukan diberikan kepada keluarga korban, tetapi justru diberikan kepada Presiden.
Kasus lain! Pernah ada seorang keluarga mantan Presiden Soeharto terlibat kasus penggunaan narkoba. Sesuai sanksi hukum di Indonesia, dia harus dijebloskan ke penjara. Konon, menurut para pakar hukum dan pejabat negara, sistem penjara itu diterapkan dengan tujuan untuk tujuan ’pendidikan’. Setiap hari negara harus mengeluarkan dana besar untuk memberi makan dan menyediakan fasilitas untuk orang-orang kaya yang terlibat kejahatan sejenis narkoba.
Lanjut baca,
PERLU KEIKHLASAN, KECERDASAN, DAN KEBIJAKAN DALAM PENERAPAN SYARIAT ISLAM (adianhusaini.id)