Oleh: Dr. Adian Husaini (www.adianhusaini.id)
Imam Abu Hanifah (w. 150 H.), menulis satu kitab tentang ilmu dan pendidikan. Judulnya: al-‘Alim wal-Muta’allim. Kitab ini telah dikaji secara mendalam oleh Dr. Mohd Anuar Mamat dalam disertasi doktornya di Universiti Malaya Kuala Lumpur (2012), dan diterbitkan dalam buku setebal 533 halaman, oleh CASIS-HAKIM Kuala Lumpur tahun 2016.
Pada intinya, menurut Imam Abu Hanifah, ada dua tujuan utama pendidikan. Pertama, memperoleh ilmu dan kefahaman. Dan kedua, meningkatkan kualitas amalan seseorang.
Pentingnya ilmu dan kefahaman dalam proses pendidikan ini juga ditekankan oleh banyak ulama lainnya. Imam al-Syafii (w. 204 H), misalnya, mengatakan, bahwa orang yang mencari ilmu tanpa memahami hujjah dan dalil-dalilnya adalah seperti “hathib lail”. Maksudnya, adalah orang yang mengambil sesuatu tanpa menilai baik dan buruknya atau hanya mempelajari ilmu tetapi tanpa berusaha memahaminya.
Murid Imam Syafii, al-Za’farani (w. 260 H.), menyatakan bahwa Imam al-Syafii pernah berkata: “Siapa yang mempalajari ilmu maka hendaklah ia mendalaminya (falyudaqqiq) supaya tidak hilang kedalaman ilmu (daqiq al-ilmi).
Abdullah Ibn al-Mubarak (w. 175 H) mengatakan, ilmu diperoleh bermula dengan niat, kemudian mendengar (istima’), memahami, menghafal, mengamalkan, dan akhirnya menyebarkannya kepada orang lain. Sementara Fudhail bin Iyadh (w. 187 H), menyatakan, ilmu diperoleh dengan cara meneliti, lalu mendengar, dan seterusnya, sebagaimana yang dikemukakan oleh Ibn al-Mubarak.
Ulama ahli hadits pada abad ke-4 H, Ibn Khallad al-Ramahurmuzi (w. 360 H), juga menekankan pentingnya pemahaman dalam proses pendidikan. Kata Ramahurmuzi: “Bukanlah ilmu itu dengan banyaknya riwayat, tetapi ilmu itu adalah cahaya yang dimasukkan oleh Allah SWT ke dalam hati manusia.”
Dalam bidang hadits, menurutnya, banyaknya hadits yang diriwayatkan seseorang tidak akan bermanfaat baginya jika tidak disertai pemahaman. Karena itu, para pengajar hadits diimbaunya agar menggabungkan ilmu riwayat dengan ilmu dirayah (tentang pemahaman hadits).
Pada abad ke-5, ulama al-Khatib al-Baghdadi (w. 463 H) menyatakan hal yang sama. Dalam Kitabnya, al-Faqih wal-Mutafaqqih, menegaskan bahwa hafalan semata-mata berkemungkinan akan menutup (yuthghi) potensi berfikir seseorang dan akan membawa kepada hilangnya kemampuan memahami dan menganalisis.
Ulama lain di zaman itu, Yusuf bin Abd al-Barr al-Namiri al-Qurtubi (w. 463 H), mengkritisi segolongan pelajar yang hanya menghafal berbagai hadits, namun tidak mengetahui statusnya serta tidak dapat memahami maksud sebenarnya yang ingin disampaikan oleh hadits tersebut.
Tujuan pendidikan kedua, setelah memahami, adalah mengamalkan ilmunya. Ali bin Abi Thalib r.a. menyatakan: “Wahai orang yang mempunyai ilmu, amalkanlah ilmu tersebut. Sesungguhnya orang yang alim itu adalah orang yang beramal dengan apa yang dia ketahui dan amalannya selaras dengan ilmunya.”
Imam Syafii juga menyatakan, bahwa ilmu itu bukan apa yang dihafal, tetapi apa yang dimanfaatkan. Maksudnya, ilmu yang meningkatkan kualitas ibadah seseorang. Muhammad bin Sahnun (w. 256 H) menyatakan, bahwa ilmu adalah cahaya yang Allah campakkan ke dalam hati manusia. Apabila ia beramal dengannya, Allah akan menjadikan hatinya bercahaya. Sebaliknya, jika ia tidak beramal, maka hatinya tidak akan bercahaya.
Lanjut baca,