ZAMAN JAHILIAH INDONESIA MENURUT SUTAN TAKDIR ALISYAHBANA

ZAMAN JAHILIAH INDONESIA MENURUT SUTAN TAKDIR ALISYAHBANA

Oleh: Dr. Adian Husaini (www.adianhusaini.id)

            Salah satu babak penting dalam sejara pergulatan pemikiran di Indonesia adalah perdebatan tentang posisi Indonesia terhadap Peradaban Barat. Sejak tahun 1930-an, masalah ini telah diperdebatkan oleh para pemikir dan tokoh bangsa Indonesia. Hal ini menunjukkan, bahwa para pendiri bangsa Indonesia adalah orang-orang yang memiliki budaya ilmu yang tinggi.

 Polemik pemikiran yang cukup serius itu terjadi di tahun 1935. Polemiknya  dipicu oleh filosof dan budayawan Sutan Takdir Alisjahbana (STA) yang menulis artikel bertajuk ”Menuju Masyarakat dan Kebudayaan Baru”, di Majalah Pujangga Baru, edisi Agustus 1935. Melalui artikelnya ini, STA mengajak masyarakat untuk meninggalkan zaman prae-Indonesia yang disebutnya sebagai ”zaman jahiliah Indonesia”.

”Sangat perlu dinyatakan dengan tegas, bahwa sejarah Indonesia dalam abad kedua puluh, ketika lahir suatu generasi yang baru di lingkungan Nusantara ini, yang dengan insyaf hendak menempuh suatu jalan yang baru bagi bangsa dan negerinya. Zaman sebelum itu, zaman sehingga penutup abad kesembilan belas, ialah zaman prae-Indonesia, zaman jahiliah keindonesiaan, yang hanya mengenal sejarah Oost Indische Compagnie, sejarah Mataram, sejarah Aceh, sejarah Banjarmasin dan lain-lain... Indonesia yang dicita-citakan oleh generasi baru bukan sambungan Mataram, bukan sambungan kerajaan Banten, bukan kerajaan Minangkabau atau Banjarmasin. Menurut susunan pikiran ini, maka kebudayaan Indonesia pun tiadalah mungkin sambungan kebudayaan Jawa, sambungan kebudayaan Melayu, sambungan kebudayaan Sunda atau kebudayaan yang lain. Pekerjaan Indonesia muda bukanlah restaureeren Borobudur dan Prambanan...”  (Achdiat K. Mihardja, Polemik Kebudayaan, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1977, cetakan ke-3).

Menurut STA, pekerjaan Indonesia baru adalah mewujudkan kebudayaan baru (culturscheppen) yang sesuai dengan semangat jiwa dan zamannya. Indonesia muda, tegas STA, harus sadar bahwa Indonesia baru harus sejajar dengan negeri-negeri terkemuka di dunia. ”Bukan Indonesia musium barang kuno,” tegasnya. Untuk itu secara tegas STA mengajak orang Indonesia untuk mengarahkan kiblat pandangannya ke Barat. ”Dan sekarang ini tiba waktunya kita mengarahkan mata kita ke Barat,” imbau STA. Lebih jauh STA menulis:

”Tetapi meski bagaimana sekali pun tidak enak bunyinya semboyan, bahwa kita harus belajar pada Barat, meski bagaimana sekali pun sedih hati kita memikirkan hal yang demikian, dalam hal ini rasanya kita tidak salah memilih. Sebabnya, semangat keindonesiaan yang menghidupkan kembali masyarakat bangsa kita yang berabad-abad selalu mati ini, pada hakikatnya kita peroleh dari Barat.”

Pandangan STA sejalan dengan pendapat seorang tokoh Young Turk Movement, Abdullah Cevdet, yang menyatakan: “There is only one civilization, and that is European civilization. Therefore, we must borrow western civilizaton with both its rose and its thorn. (M. Sukru Hanioglu, The Young Turks In Position, (Oxford University Press, 1995).

Lanjut baca,

https://member.adianhusaini.id/member/blog/detail/zaman-jahiliah-indonesia-menurut-sutan-takdir-alisyahbana

 

Dipost Oleh Super Administrator

Admin adianhusaini.id

Post Terkait

Tinggalkan Komentar