Oleh: Dr. Adian Husaini (www.adianhusaini.id)
Dalam artikelnya tertanggal 17 Agustus 1951, yang berjudul “Jangan Berhenti Tangan Mendayung, Nanti Arus Membawa Hanyut”, Mohammad Natsir menyebut satu kondisi kejiwaan bangsa kita yang menyedihkan. Di tahun 1951 itu, menurut Pak Natsir, masyarakat kita sudah berubah kondisi jiwanya. Jauh bedanya, antara sebelum dan sesudah kemerdekaan.
Sebelum merdeka, rakyat senang berkorban untuk perjuangan. Tetapi, setelah merdeka, banyak yang kemudian menuntut imbalan balas jasa atas pengorbanannya. Bahkan, tulis Pak Natsir, mulai muncul penyakit bakhil.
“Sekarang timbul penyakit bakhil. Bakhil keringat, bakhil waktu dan merajalela sifat serakah. Orang bekerja tidak sepenuh hati lagi. Orang sudah keberatan memberikan keringatnya sekalipun untuk tugasnya sendiri. Segala kekurangan dan yang dipandang tidak sempurna, dibiarkan begitu saja. Tak ada semangat dan keinginan untuk memperbaikinya. Orang sudah mencari untuk dirinya sendiri, bukan mencari cita-cita yang diluar dirinya. Lampu cita-citanya sudah padam kehabisan minyak, programnya sudah tamat, tak tahu lagi apa yang akan dibuat!”
Kita catat peringatan Pak Natsir: “Lampu cita-citanya sudah padam kehabisan minyak, programnya sudah tamat, tak tahu lagi apa yang akan dibuat.” Itulah catatan dan peringatan penting Pak Natsir pada tahun 1951. Itu hanya enam tahun setelah kita merdeka.
Peringatan Pak Natsir itu sangat penting kita perhatikan. Sebab, bangsa yang kehilangan cita-cita akan tenggelam dalam jeratan rutinitas kehidupan. Tak ada lagi “himmatul ‘aliyah” (cita-cita yang tinggi), untuk apa hidup sebagai bangsa dan juga sebagai manusia.
Akhirnya, manusia hanya beraktivitas rutin mencari makan dan mencari kesenangan. Padahal, jiwa manusia memerlukan “makanan” yang menyehatkan, seperti zikir dan ilmu. Jiwa yang sehat inilah yang akan menjadi landasan kebangkitan suatu bangsa. Jiwa yang sehat adalah jiwa yang mengenal diri dan Tuhan mereka. Dan cita-cita hidupnya yang utama adalah menjadi “hamba Allah”, menjadi manusia yang tunduk dan patuh kepada Allah.
Itulah makna kemajuan yang hakiki. Itulah yang seharusnya menjadi tujuan hidup manusia. Dengan itu manusia akan mengalami kemajuan. Jiwanya semakin bersih dan dirinya semakin dekat dengan Allah. Inilah yang seharusnya menjadi cita-cita tertinggi yang harus dikejar setiap manusia. Karena dengan mendekat kepada Allah SWT, manusia akan meraih kebahagiaan. Kita hidup ingin bahagia!
Jadi, manusia harus memiliki cita-cita ideal untuk diri, keluarga, masyarakat, dan bangsanya. Negaranya harus diperjuangkan agar menjadi negara yang adil dan makmur; negara yang mampu mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Untuk dirinya sensiri, manusia Indonesia harus memiliki cita-cita tinggi menjadi orang baik, manusia yang makin dekat dengan Tuhannya.
Lanjut baca,