APA HAK KONSTITUSIONAL UMAT ISLAM INDONESIA

APA HAK KONSTITUSIONAL UMAT ISLAM INDONESIA

(Catatan Bedah Buku Pancasila di Universitas Negeri Makasar)

 

Oleh: Dr. Adian Husaini (www.adianhusaini.id)

 

            Hari Sabtu (8/2/2020), saya mengisi acara Bedah Buku  di Universitas Negeri Makasar (UNM). Judul acaranya cukup menarik: “BEDAH BUKU NASIONAL 2020”.  Buku saya yang dibedah adalah “Pancasila bukan untuk Menindas Hak Konstitusional Umat Islam” (Jakarta: GIP, 2009).  Acara itu sangat semarak,  dihadiri lebih dari 400 peserta. Sebagian besar mahasiswa. Ada juga sejumlah dosen yang hadir.

            Acara dibuka oleh Wakil Dekan III, Fakultas Ilmu Sosial UNM, Prof. Dr. Jumadi dan bertindak sebagai keynote speaker adalah Wakil Gubernur Sulawesi Selatan, Andi Sudirman Sulaiman. Karena berhalangan hadir, sambutannya dibacakan oleh Asisten I, Gubernur Sulawesi Selatan.

            Tentu saja mendiskusikan tentang Pancasila masih sangat relevan dan menarik. Apalagi, belum lama, (5/2/2020), Presiden Jokowi melantik Prof. Yudian Wahyudi sebagai Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila, menggantikan Dr. Yudi Latif yang mengundurkan diri tahun lalu. Masyarakat masih menunggu-nunggu, bagaimana memahami dan mengaktualkan Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, sehingga benar-benar terwujud negara adil dan makmur.

            Dalam acara Bedah Buku di UNM tersebut, saya kembali menekankan, bahwa

Indonesia adalah negara yang sangat plural dalam berbagai hal.  Tetapi, dalam hal aspirasi ideologis berbangsa dan bernegara, ada dua arus utama yang sudah “bersaing” sejak zaman pra-kemerdekaan RI, yaitu “nasionalis Islam” dan  “nasionalis sekuler”.

            Sejarah menunjukkan, betapa pun tajamnya perbedaan pendapat antara kedua arus ideologi tersebut, para pendiri bangsa mampu menemukan titik temu diantara mereka.  Adalah Bung Karno, tokoh yang memelopori pertemuan Sembilan Tokoh Nasional, yang kemudian melahirkan Piagam Jakarta – yang kini menjadi teks Pembukaan UUD 1945.

            Perdebatan para pendiri bangsa itu dilakukan secara ilmiah, secara terbuka, di media massa. Mereka terlatih berdebat dan berbeda pendapat, tetapi kemudian mampu menemukan titik temu, sehingga keutuhan NKRI dapat terjaga. Dengan adanya tradisi dialog ilmiah, kita berharap, Indonesia tidak akan bernasib seperti Suriah, dan lain-lain. Betapa pun tajam dan beragamnya aspirasi ideologis, jangan sampai memecah atau menenggelamkan kapal NKRI.

            Juga, saya menjelaskan, bahwa meskipun ada TUJUH kata yang hilang dari Pembukaan UUD 1945, tapi patut disyukuri, setidaknya masih ada TUJUH kata penting yang lolos dari pencoretan. Yaitu, kata:  “Rahmat, Allah, adil, adab, hikmah, musyawarah, dan keadilan sosial”.

Para tokoh Islam juga sudah memberikan panduan dalam memahami Pancasila. Misalnya, Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama Nahdlatul Ulama di Situbondo, Jawa Timur, 21 Desember 1983 menetapkan: (1) Sila “Ketuhanan Yang Maha Esa” sebagai dasar Negara Republik Indonesia menurut pasal 29 ayat 1 Undang-undang Dasar (UUD) 1945, yang menjiwai sila yang lain, mencerminkan tauhid menurut pengertian keimanan dalam Islam. (2) Bagi Nahdlatul Ulama (NU) Islam adalah akidah dan syariah, meliputi aspek hubungan manusia dengan Allah dan hubungan antarmanusia.(3) Penerimaan dan pengamalan Pancasila merupakan perwujudan dan upaya umat Islam Indonesia untuk menjalankan syariat agamanya. (Lihat, pengantar K.H. A. Mustofa Bisri berjudul “Pancasila Kembali” untuk buku As’ad Said Ali, Negara Pancasila, Jalan Kemaslahatan Berbangsa, (Jakarta: LP3ES, 2009).

            Karena itulah, dalam perspektif tersebut, ungkapan  “negara berdasar atas Ketuhanan Yang maha Esa” bermakna, negara Indoenesia berdasar atas Tauhid dalam perpektif Islam. Begitu juga, makna pengamalan Pancasila, sejalan dengan makna pengamalan syariat Islam.

           

*****

            Dalam acara Bedah Buku di UNM, ada yang bertanya: “Apa hak konstitusional umat Islam Indonesia?”             Saya jawab: “Hak umat Islam itu ditegaskan dalam UUD 1945 pasal 29 ayat (2): “Negara menjamin tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.”

            Dalam Islam, makna “ibadah” itu begitu luas. Secara bertahap, negara Indonesia semakin membuka peluang umat Islam untuk menjalankan ibadahnya. Dulu, bertahun-tahun, para pelajar muslimah dilarang mengenakan jilbab di sekolah-sekolah umum. Tapi, mulai tahun 1990, larangan itu dicabut. Hal yang sama kemudian berlaku untuk muslimah di TNI dan Polri.

            Dalam bidang ekonomi, umat Islam telah diberikan pilihan, memilih bank Islam atau bank konvensional. Dalam pendidikan, umat Islam bisa memilih: lembaga pendidikan Islam atau yang selain itu. Tapi, masih ada kurikulum yang dipaksakan kepada umat Islam, yang isinya bertentangan dengan ajaran Islam. Misalnya, Teori asal-usul manusia dari makhluk sebangsa kera (hominid).

Sepatutnya, sesuai pasal 29 (2) UUD 1945, umat Islam tidak boleh dipaksa menjalani pendidikan yang bertentangan dengan ajaran agamanya. Itu maknanya negara “MENJAMIN” umat Islam untuk memeluk Islam dan menjalankan ibadah secara Islam.

Contoh lain, pernah saya usulkan dalam pertemuan di Kemenag saat membahas RUU Perlidungan Umat Beragama. Sepatutnya, dalam perkara pidana, umat Islam juga diberi hak untuk memilih, apakah memilih hukum Islam atau hukum konvensional, sebagaimana dalam hal ekonomi.

Contohnya, saat persidangan dimulai, hakim bisa bertanya kepada terdakwa perkara pembunuhan yang beragama Islam: “Apakah saudara memilih diadili dengan hukum Islam atau hukum konvensional?”

Jika terdakwa dan keluarga korban memilih diadili dengan hukum Islam, maka hakim cukup memerintahkan mereka untuk berunding. Dan jika keluarga korban memberi maaf kepada pelaku dengan sejumlah kompensasi lalu disepakati oleh pelaku, maka pengadilan pun usai. Murah meriah. Tidak perlu berlarut-larut.

Itulah sejumlah contoh hak konstitusional umat Islam di Indonesia yang ditegaskan dalam UUD 1945. Di sinilah perlunya para ulama dan tokoh Islam memberikan penjelasan tentang syariat Islam dengan cara-cara yang baik, sehingga masyarakat tidak salah paham dan fobia terhadap syariat. Namun, penerapan syariat juga perlu dipandu oleh adab.

Alhamdulillah, diskusi buku “Pancasila bukan untuk Menindas Hak Konstitusional Umat Islam” di UNM berlangsung dengan lancar. (***) (Makasar, 9 Februari 2020).

Dipost Oleh Super Administrator

Admin adianhusaini.id

Post Terkait

Tinggalkan Komentar