Oleh: Dr. Adian Husaini
Pada hari Jumat, 25 Januari 2020, Mendikbud Nadiem Makarim mulai melakukan gebrakan dalam dunia Pendidikan Tinggi. Langkah ini diawali dengan peluncuran empat program kebijakan bertajuk "Kampus Merdeka".
Diantara empat kebijakan itu adalah: pertama, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) memberikan otonomi kepada Perguruan Tinggi Negeri (PTN) dan Swasta (PTS) untuk membuka Program Studi (prodi) baru.
Kedua, akreditasi bersifat otomatis untuk seluruh peringkat dan sukarela bagi perguruan tinggi dan prodi yang siap naik peringkat. Akreditasi Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN-PT) tetap berlaku lima tahun dan diperbarui otomatis.
Ketiga, memberikan kemudahan perubahan status dari PTN-Satuan Kerja dan PTN Badan Layanan Umum menjadi PTN Badan Hukum. Keempat, memberikan hak kepada mahasiswa untuk mengambil mata kuliah di luar kampusnya selama dua semester, dan mengambil SKS di luar prodinya selama satu semester.
Kebijakan ini juga mencakup perubahan definisi SKS, dari “jam belajar” menjadi “jam kegiatan”. “Kegiatan” itu mencakup: belajar di kelas, magang, praktik kerja di industry atau organisasi, pertukaran pelajar, pengabdian masyarakat, wirausaha, riset, studi lapangan, juga mengajar di daerah terpencil.
Itulah empat kebijakan baru Menteri Nadiem Makarim. Kabarnya, ini baru langkah awal yang bisa dilakukan. Caranya cukup mengubah Peraturan Menteri.
*****
Paket kebijakan “Kampus Merdeka” Mendikbud Nadiem Makarim sejalan dengan pidatonya di Universitas Indonesia, 4 Desember 2019. Ketika itu, Nadiem sudah memberikan isyarat, dengan ungkapannya, bahwa kita memasuki era dimana “gelar tidak menjamin kompetensi” dan “akreditasi tidak menjamin mutu”.
Menteri Nadiem lebih memberikan kemerdekaan kepada kampus dan juga mahasiswanya untuk menentukan sendiri mekanisme dan arah kuliahnya. Tentu, ini kebijakan awal yang cukup melegakan banyak akademisi.
Sebenarnya, di era DISRUPSI, kebijakan “Kampus Merdeka” adalah hal biasa. Bahkan, satu keharusan. Ini tuntutan zaman. Tahun 2017, Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI), menerbitkan buku berjudul “Era Disrupsi: Peluang dan Tantangan Pendidikan Tinggi Indonesia”.
AIPI mengimbau: “Dalam menghadapi era disruptif seperti saat sekarang ini, apalagi di masa depan, diperlukan perubahan berpikir yang mendasar dan bukannya perubahan yang di pinggir-pinggir (changing from the edge). Tanpa kerja ekstra keras, berpikir ke depan yang bercorak out of the box, penentuan tata urutan waktu yang jelas, perguruan tinggi Indonesia akan terus berada di buritan peradaban keilmuan.”
AIPI pun mengingatkan agar segera merevisi konsep linieritas dalam pendidikan. Menurut AIPI, Pendidikan Tinggi yang berjalan sekarang ini umumnya masih bersifat reduksionis, yaitu terlalu kecil dan sempit perspektifnya dalam melihat dan menganalisis suatu masalah. Konsep linieritas, misalnya, masih banyak dijumpai dalam pendidikan tinggi di Indonesia.
Disebutkan, “Linieritas sebatas dalam pengelolaan program studi keilmuan pada pengelolaan program studi barangkali masih dapat dimaklumi; namun linieritas keilmuan, jika dipahami secara ketat dan kaku, akan membelenggu cara kerja, cara berpikir, kreativitas serta inovasi para dosen dan mahasiswa.”
Dicontohkan dalam buku ini tentang sosok Mark Zuckerberg, penemu facebook, yang memiliki keilmuan lintas disiplin. Zuckerberg sendiri menyatakan, bahwa dalam facebook “porsi psikologi dan sosiologi sama banyak dan sama kuatnya dengan teknologi.”
Pendidikan Zuckerberg pun lintas disiplin. Saat duduk di bangku SMA, Zuckerberg mempelajari sejarah dan filsafat Yunani. Lalu, ia mengambil program studi psikologi ketika kuliah di Tingkat S-1.
Contoh lain, Steve Jobs arsitek Apple. Ia menyatakan, “Dalam DNA Apple itu sendiri dijelaskan bahwa teknologi saja tidaklah cukup. Teknologi yang dikawinkan dg liberal art, teknologi yang dikawinkan dg humaniora-lah yang mengantarkan kita memperoleh hasil yang membuat hati kita puas.”
Dalam artikel berjudul “Sarjana Menganggur dan Revolusi Pendidikan Tinggi”, (detik.com, 30/9/2019), disebutkan bahwa saat ini telah berkembang apa yang disebut sebagai Polymath University. Ini disebutkan oleh David Staley dalam bukunya Alternative Universities: Speculative Design for Innovation in Higher Education (2019).
Dalam Polymath University, setiap mahasiswa bisa mengambil tiga disiplin ilmu (triple majors), misalnya akuntasi-fisika-sejarah, bisnis-sosiologi-filsafat, keuangan-astronomi-agama, atau beberapa kombinasi lain. Gagasan Polymath University didasari oleh realitas dunia pekerjaan saat ini yang membutuhkan lulusan universitas yang mampu berpikir kreatif, lintas ilmu, dan multidimensi.
Jadi, tampak, bahwa kebijakan “Kampus Merdeka” Menteri Nadiem sejalan dengan gagasan Polymath University. Nantinya, mahasiswa harus diberikan hak untuk mengambil kuliah selama dua semester (sekitar 40 SKS) untuk mengambil mata kuliah di prodi dan kampus lain.
*****
Jadi, kebijakan “Kampus Merdeka” Mendikbud Nadiem Makarim sebenarnya hal yang wajar dalam menyambut era disrupsi. Bahkan, Attaqwa College (ATCO) Depok sudah menerapkan ide Polymath University sejak awal perkuliahan, 17 Agustus 2019. ATCO Depok menetapkan LIMA standar kompetensi lulusan: (1) Adab/akhlak mulia (2) Pemikiran Islam (3) Bahasa Inggris dan Arab (4) Teknologi Informasi (5) Komunikasi lisan dan tulisan.
Kebijakan “Kampus Merdeka” telah membuka peluang bagi kampus-kampus Islam untuk segera berbenah dan melakukan perubahan mendasar dalam orientasi dan proses pendidikannya. Praktik Pendidikan Tinggi yang HANYA mengandalkan “jual ijazah dan gelar akademik” sudah saatnya dihentikan.
Pendidikan Tinggi Islam harus berubah menjadi semacam “Pesantren” yang menekankan aspek adab dan akhlak mulia serta penguasaan ilmu-ilmu yang bermanfaat. Untuk itu diperlukan perubahan mendasar pada peran dosen. Dosen bukan hanya sebagai pengajar dan penyampai informasi. Tapi, lebih berperan sebagai motivator, inspirator, dan teladan kehidupan. Wallahu A’lam bish-shawab. (Jombang, 27 Januari 2020).