BEGINILAH CERITA PENDIRIAN DEWAN DA’WAH ISLAMIYAH INDONESIA

BEGINILAH CERITA PENDIRIAN  DEWAN DA’WAH ISLAMIYAH INDONESIA

 Oleh: Dr. Adian Husaini (www.adianhusaini.id)

Gagalnya kudeta G30S/PKI dan lahirnya pemerintah Orde Baru membawa harapan baru bagi umat Islam. Rezim baru diharapkan membuka lembaran sejarah baru pula. Banyak yang berharap Partai Islam Masyumi itu bisa dihidupkan lagi, setelah dibekukan Presiden Soekarno melalui Keppres No.200/1960, pada 17 Agustus 1960.

Tapi, ”masa bulan madu” antara umat Islam dengan rezim Orde Baru tidak berlangsung lama. Banyak pengamat menyebut era 1969-1989 sebagai era ”depolitisasi Islam” dan ”deislamisasi politik”.  Pemerintah Orde Baru menolak usulan rehabilitasi Masyumi.

Ketua Umum Masyumi saat dibubarkan, Prawoto Mangkusasmito, mengirim surat kepada Ketua Presidium Kabinet, Jenderal Soeharto, tertanggal 6 Oktober 1966. Ia berharap Masyumi dapat direhabilitasi. Tapi, pada 6 Januari 1967, Presiden Soeharto menjawab, bahwa ABRI tidak bisa menerima rehabilitasi Masyumi. ”Alasan-alasan yuridis, ketatanegaraan, dan psikologis telah membawa ABRI pada suatu pendirian, bahwa ABRI tidak dapat menerima rehabilitasi bekas partai politik Masyumi,” demikian sebagian isi surat balasan Soeharto kepada Prawoto.

            Bukan hanya itu. Para tokoh Masyumi juga dilarang memimpin Partai Muslimin Indonesia (Parmusi), satu-satunya partai baru yang diizinkan terbentuk ketika itu. Pemerintah tidak merestui terpilihnya Moh. Roem sebagai Presiden Parmusi dalam Muktamar di Malang, tahun 1968.

”Pengaruh Masyumi” pun dicoba sekuat tenaga dihilangkan, dengan keluarnya ”daftar hitam” sekitar 2500 eks tokoh Masyumi yang tidak boleh dicalonkan oleh Parmusi. Dengan kondisi seperti itu, maka pada Pemilu 1971, Parmusi hanya meraih 34 kursi. Tapi, umur Parmusi pun tak lama. Pada 5 Januari 1973, Parmusi pun melebur ke dalam PPP bersama NU, PSII, dan Perti.

Proses deislamisasi politik dan depolitisasi Islam semakin ketat dilakukan dengan kewajiban ”menyesuaikan” lambang partai dengan Pancasila. PPP harus merelakan gambar Ka’bahnya. Berikutnya, asas partai pun harus diseragamkan. Asas Islam harus dibuang, karena dinilai tidak sesuai dengan Pancasila. (Tentang kemunculan dan perjalanan Parmusi, lihat Adian Husaini, Habibie, Soeharto, dan Islam (Jakarta: GIP, 1994).

Lanjut baca,

http://member.adianhusaini.id/member/blog/detail/beginilah-cerita-pendirian--dewan-dawah-islamiyah-indonesia

 

Dipost Oleh Super Administrator

Admin adianhusaini.id

Post Terkait

Tinggalkan Komentar