BEGINILAH PARA PRAJURIT DIPONEGORO MELANJUTKAN PERJUANGAN MELALUI PONDOK PESANTREN

BEGINILAH PARA PRAJURIT DIPONEGORO  MELANJUTKAN PERJUANGAN MELALUI PONDOK PESANTREN

 

Artikel ke-1.520

Oleh: Dr. Adian Husaini (www.adianhusaini.id)

            Tokoh Pesantren Indonesia, KH Sholeh Iskandar, menyebut bahwa Pondok Pesantren adalah lembaga tafaqquh fid-din dan iqamatud-din (lembaga untuk mendalami dan memperjuangkan tegaknya agama). Itu memang sesuai dengan berdirinya berbagai pondok pesantren di Pulau Jawa, yang dimotori oleh para panglima dan prajurit Pangeran Diponegoro.

            Perang Diponegoro telah membawa dampak besar bagi penjajah Belanda. Sebanyak 15 ribu tentara Belanda mati. Ironisnya, dari 15 ribu itu, ada 7000 serdadu Belanda yang berkebangsaan pribumi. Inilah yang menjadi tantangan berat bagi pasukan Diponegoro. Mereka harus berperang melawan sesama warga Indonesia. Bahkan, banyak yang masih punya hubungan saudara.

            Meskipun begitu, Belanda akhirnya berhasil mengakhiri peperangan besar itu dengan cara yang licik. Pangeran Diponegoro ditangkap saat melakukan perundingan. Penangkapan Diponegoro kemudian mengakhiri perlawanan secara militer. Tapi, perjuangan melawan penjajah tidak berakhir. Para panglima perang pasukan Diponegoro kemudian melanjutkan perjuangan melalui pendidikan, yakni melalui pondok-pondok pesantren.

            Berikut ini sejumlah contoh panglima dan pasukan perang Diponegoro yang mendirikan pondok-pondok pesantren sebagai bentuk baru perjuangan melawan penjajahan. Data diambil dari buku:  Laskar Ulama-Santri dan Resolusi Jihad (Ciputat: Pustaka Compass, 2014), karya Zainul Milal Bizawi.

  • Kyai Abdus Salam. Ia adalah salah satu pemimpin pasukan Diponegoro, yang juga dikenal sebagai pendekar dan dai. Sebenarnya, Kyai ini masih keturunan Prabu Brawijaya dari jalur Joko Tingkir (Mas Karebet). Menyusul ditangkapnya P. Diponegoro, Kyai Abdus Salam menggeser perlawananannya dari Tegalrejo Yogyakarta ke Tambak Beras Jombang. Di sinilah, ia membangun langgar dan tempat pemondokan untuk 25 santri, sehingga dikenal juga sebagai “Pondok Selawe”.

Lembaga pendidikan inilah yang di kemudian hari dikenal sebagai Pesantren Bahrul Ulum, Tambak Beras. Salah satu putrinya kemudian dinikahi oleh santrinya bernama Kyai Usman. Salah satu putri Kyai Usman dinikahi oleh Kyai Asy’ari, ayah dari KH Hasyim Asy’ari, tokoh pendiri NU. Putri Kyai Abdus Salam lainnya disunting oleh santrinya bernama Kyai Said, dan memiliki anak bernama Kyai Chasbullah Said. Kyai Chasbullah Said memiliki anak bernama KH Abdul Wahab Chasbullah, yang juga pendiri NU.

 

 Pangeran Rojoyo (Syech Abul Ghanaim). Ia mendirikan pondok pesantren pertama di Kota Batu. Seluruh prajurit dan punggawa Pengeran Rojoyo menjadi santri pertama pondok ini. Pesantren ini menyebarkan santri-santrinya untuk berdakwah di beberapa daerah sekitar Batu, sampai ke Malang. Di setiap daerah, Pangeran Rojoyo menempatkan satu santrinya untuk menyiarkan agama Islam.

Lanjut baca,

https://member.adianhusaini.id/member/blog/detail/beginilah-para-prajurit-diponegoro--melanjutkan-perjuangan-melalui-pondok-pesantren

 

Dipost Oleh Super Administrator

Admin adianhusaini.id

Post Terkait