Oleh: Dr. Adian Husaini (www.adianhusiani.id)
Buku "Manusia dalam Kemelut Sejarah", terbitan LP3ES (1994), memuat tulisan menarik tentang sosok Panglima Besar Soedirman. Penulisnya, Nugroho Notosusanto. Tentang kepemimpinan, kepahlawanan, dan kemampuan militer Jenderal Soedirman sudah sangat dikenal.
Bahkan, sosok teladan ini, begitu dicintai oleh rakyat Indonesia. Pada hari Ahad 29 Januari 1950, Pak Dirman – nama panggilannya -- wafat di Kota Megelang. Esok harinya, jenazahnya diantar ke Yogyakarta. Sepanjang jalan 45 km, rakyat berderet-deret di tepi jalan. Ribuan orang juga memadari arena pemakaman di Taman Makam Pahlawan Semaki, Yogyakarta. Sosok Pak Dirman begitu dicintai rakyat.
Pak Dirman lahir di Purbalingga, 24 Januari 1916. Ia sempat mengenyam pendidikan Sekolah Dasar Belanda (Hollands Inlandse School/HIS). Setahun terakhir, Soedirman pindah ke Perguruan Taman Siswa. Lalu, ia melanjutkan pendidikan tingkat SMP Belanda di Meer Uitgebreid Lage Onderwijs (MULO) Wiworo Tomo.
Di sinilah Soedirman mendapat pendidikan nasionalisme yang mendalam. Perguruan Wiworo Tomo tidak diakui oleh Pemeritah Kolonial. Bahkan, sekolah itu diberi julukan "wilde scholen" (Sekolah Liar). Sebab, Perguruan ini diasuh oleh tiga orang yang memiliki sikap patriotisme yang tinggi.
Menurut Nugroho Notosusanto, ketika orang pengasuh Perguruan Wiwori Tomo itu memiliki corak pemikiran yang berbeda. Yang seorang memiliki pandangan nasionalis-sekuler. Yang kedua bercorak nasioanalis Islam, dan ketiga berpendidikan militer di Belanda. Ketiga orang itulah yang membentuk sikap nasionalis, keislaman, dan militansi militer Pak Dirman.
Kecenderungan jiwa Soedirman berkembang lebih jauh setelah ia aktif dalam Kepanduan Muhammadiyah, yaitu Hizbul Wathon. "Minatnya kepada Islam mendalam menjadi penghayatan yang serius, baik dalam hal ajarannya maupun dalam ibadahnya," tulis Nugroho.
Hizbul Wathon juga menanamkan sikap disiplin, tanggung jawab dan pengabdian. Sikap perjuangan Soedirman diperkuat lagi saat aktif di Pemuda Muhammadiyah. Akhirnya, Pak Dirman menjadi wakil ketua Pemuda Muhammadiyah Karesidenan Banyumas.
Yang menarik adalah pengalaman Pak Dirman menjadi guru di HIS Muhammadiyah, setelah tamat dari MULO Wiworo Tomo. Jadi, Pak Dirman menjadi guru di usia yang masih sangat muda. Soedirman dikenal memiliki kegemaran terhadap tiga ilmu, yaitu sejarah, bahasa Indonesia, dan ilmu pasti.
"Sebagai guru, ia meningkatkan kemampuannya untuk menjelaskan sesuatu persoalan yang rumit secara gamblang. Suatu hal yang mempunyai kegunaan praktis kelak ketika ia memedang tampuk pimpinan organisasi yang terbesar di lingkungan pemerintah Republik Indonesia, yakni Angkatan Perang," tulis Nugroho.
Di zaman penjajahan Jepang, Soedirman terpilih menjadi salah satu dari 69 komandan batalyon (daidancho) dari Tentara Sukarela Pembela Tanah Air (PETA). Soedirman mendapat pendidikan militer PETA di Bogor. Ia kemudian menjadi komandan batalyon di Kroya, Jawa Tengah. Dan pada bulan November 1945, Soedirman dilantik Presiden Soekarno menjadi Panglima Besar Angkatan Perang Republik Indonesia, pada usia 29 tahun.
Lanjut baca,