Oleh: Dr. Adian Husaini
(www.adianhusaini.id)
Buku"Dibawah Bendera Revolusi" Jilid I, memuat 12 surat Bung Karno kepada A. Hassan, guru Mohammad Natsir di Bandung. Surat-surat Bung Karno diletakkan dalam satu bab berjudul:"Surat-surat Islam dari Endeh, Dari Ir. Sukarno kepada T.A. Hassan, Guru"Persatuan Islam", Bandung."
Menarik mencermati pemikiran Bung Karno tentang Islam, sebagaimana dicurahkan dalam surat-surat tersebut. Disamping mengungkapkan soal pemikirannya, surat-surat Bung Karno itu juga menggambarkan suasana kehidupan Bung Karno saat dalam pengasingan di Endeh, Flores, Nusa Tenggara Timur.
Dalam pengasingan itu, Bung Karno tidak sendiri. Ia ditemani istri dan putrinya. Ia pun leluasa bergaul dengan masyarakat setempat. Bahkan, terungkap, begitu tinggi kecintaan Bung Karno kepada buku, sampai-sampai kekurangan uang untuk membelinya. Ia pun sempat menerjemahkan satu buku berbahasa Inggris setebal 300 halaman, dan meminta bantuan A. Hassan untuk mencarikan penerbitnya.
Tampak dalam surat-surat tersebut, keakraban Bung Karno dengan A. Hassan. Berkali-kali ia mengucapkan terimakasih, karena A. Hassan terus melayani diskusi dengan Bung Karno dan mengirimkan buku-buku yang diminatinya. Surat-surat ke A. Hassan menggambarkan juga sosok Bung Karno seperti orang yang"kehausan buku" dan haus teman diskusi tentang keislaman.
Dalam sejumlah suratnya, Bung Karno mengungkapkan semangatnya dalam ber-Islam dan mencita-citakan Islam menjadi agama yang maju dan berkembang. Hanya saja, soal kriteria"kemajuan" itulah yang nanti memunculkan perbedaan pendapat antara Bung Karno dengan A. Hassan, dan para cendekiawan Muslim lainnya, seperti Mohammad Natsir.
Dalam surat pertama, tertanggal 1 Desember 1934, misalnya, Bung Karno menulis:"Tiada satu agama yang menghendaki kesamarataan lebih dari pada Islam. Pengeramatan manusia itu adalah salah satu sebab yang mematahkan jiwanya sesuatu agama dan umat, oleh karena pengeramatan manusia itu melanggar Tauhid."
Dalam surat ketiga, tanggal 26 Maret 1935, Bung Karno mengabarkan bahwa kiriman sejumlah buku dari Tuan A. Hassan sudah ia terima. Tapi, Bung Karno masih berharap mendapat kiriman kitab hadits Bukhari-Muslim terjemahan dalam bahasa Indonesia atau Inggris. Ia ingin menelaah hadits-hadits tersebut.
Sebab, Bung Karno berpendapat:"Tak ada agama yang lebih rasional dan simplistis daripada Islam. Saya ada sangkaan keras bahwa rantai taqlid yang merantaikan roh dan semangat Islam dan yang merantaikan pintu-pintunya bab-el-ijtihad, antara lain-lain, ialah hasilnya hadis-hadis yang daif dan palsu itu."
Di surat sebelumnya, surat kedua, tanggal 25 Januari 1935, Bung Karno memuji Mohammad Natsir, setelah membaca tulisan-tulisannya yang berbahasa Belanda. Bung Karno menulis kepada A. Hassan:"Haraplah sampaikan saya punya compliment kepada Tuan Natsir atas ia punya tulisan-tulisan yang memakai bahasa Belanda. Antara lain ia punya inleiding di dalam Komt tot het gebed adalah menarik hati."
Di surat kesembilan, tanggal 22 April 1935, Bung Karno juga menyebut nama Mohammad Natsir:"Alangkah baiknya kalau Tuan punya mubalig-mubalig nanti bermutu tinggi, seperti Tuan M. Natsir, misalnya! Saya punya keyakinan yang sedalam-dalamnya ialah bahwa Islam di sini – ya di seluruh dunia – tak akan menjadi bersinar kembali kalau kita orang Islam masih mempunyai "sikap hidup" secara kuno saja, yang menolak tiap-tiap"kebaratan" dan"kemoderenan"."