Artikel ke-1.561
Oleh: Dr. Adian Husaini (www.adianhusaini.id)
Mencermati berbagai persoalan bangsa kita saat ini, tidak sedikit yang kemudian bersikap pesimis. Seolah-olah tidak ada jalan bagi perbaikan bangsa. Artinya, kita tinggal menunggu bangsa kita menuju jurang kehancuran. Benarkah begitu?
Tentu saja, orang muslim dilarang bersikap pesimis terhadap masa depan diri, umat, dan bangsanya. Apa pun kondisi kita saat ini, harapan perbaikan itu selalu ada. Rasulullah saw menjadi teladan utama dalam melakukan upaya perubahan yang mendasar dan menyeluruh terhadap bangsa Arab ketika itu.
Rasulullah saw hidup dalam satu masyarakat yang berbagai tindak kejahatan telah membudaya dan berurat berakar dalam kehidupan masyarakat. Misalnya, tradisi perang suku dan budaya minuman keras.
Masyarakat saat itu berada dalam kondisi hilang adab (loss of adab). Mereka tidak beradab kepada Allah. Mereka mengakui Allah sebagai Tuhan mereka, tetapi mereka juga mengangkat makhluk-makhluk sebagai tuhan. Mereka memuliakan manusia bukan atas dasar taqwa dan akhlak mulia. Mereka pun tidak tahu bagaimana harusnya memperlakukan anak-anak mereka sendiri.
Maka, Rasulullah saw memulai perubahan masyarakatnya itu dengan mengubah manusianya. Beliau mendidik masyarakat dengan mengubah pandangan hidup (worldview) mereka terhadap Tuhan, manusia, dan juga terhadap ilmu.
Inilah yang pertama kali diperintahkan melalui wahyu yang pertama turun: “Iqra! Bacalah dengan nama Tuhanmu yang menciptakan. Yang menciptakan manusia al-alaq; Bacalah, dan Tuhanmu sungguh sangat mulia; yang mengajarkan manusia dengan qalam; yang mengajar manusia apa yang tidak diketahuinya.”
Inilah adab yang sangat mendasar yang harus ditanamkan pada diri manusia sejak awal mula ia menjalani proses pendidikan. Bahwa, manusia itu makhluk Allah yang Maha Mulia dan yang mengajar manusia. Ilmu yang didapat manusia adalah dari Allah. Dengan menyadari hakikat manusia seperti itu, maka manusia akan semakin bersungguh-sungguh dalam mencari ilmu dan tidak sombong atas prestasi keilmuan yang diraihnya.
Jadi, memahami hakikat segala sesuatu dan menyikapinya dengan betul itulah yang dimaksud dengan adab. Adab kepada Allah, adab kepada Rasul, adab terhadap guru, adab terhadap ilmu, dan seterusnya, harus menjadi prioritas dalam proses penanamannya dalam diri setiap manusia.
Salah paham terhadap hakikat sesuatu, berdampak pada hilangnya adab. Misalnya, ketidakpahaman terhadap hakikat ilmu, tidak paham derajat ilmu, maka akan menyebabkan seorang pelajar tidak beradab kepada ilmu. Mungkin ia tidak mendapatkan pemahaman tentang ilmu yang benar, sehingga ia tidak merasakan kedamaian dan kelezatan ilmu.
Bermacam-macam ilmu yang masuk dalam dirinya tidak menjadikannya semakin dekat dengan Allah SWT, sebab ketiadaan adab dalam mencari, mengamalkan, dan mengajarkan ilmunya. Mungkin, ketika duduk di tingkat SMP-SMA, ia sangat sibuk dalam mempelajari ilmu-ilmu yang sifatnya fardhu kifayah atau mubah, tetapi ia melalaikan penguasaan ilmu-ilmu fardhu ain.
Lanjut baca,
CARA MEWUJUDKAN KEADILAN SOSIAL BAGI SELURUH RAKYAT INDONESIA (adianhusaini.id)