Oleh: Dr. Adian Husaini (www.adianhusaini.id)
Dalam acara "Malam Kenal Kelas Jurnalis Profesional STID Mohammad Natsir" (Ahad, 11/7/2021), saya menyampaikan terjadinya kerancuan makna kata "universitas". Kata penting itu kini dimaknai sebagai satu bentuk institusi pendidikan tinggi dengan jumlah fakultas dan program studi tertentu.
Di Indonesia ada beberapa jenis Perguruan Tinggi, yaitu: Sekolah Tinggi, Institut, dan Universitas. Karena mengikuti konsep industri, maka suatu Perguruan Tinggi dikatakan hebat kalau jumlah mahasiswanya banyak. Biasanya itu berbentuk universitas, karena banyak program studinya. Jika jumlah mahasiswanya sedikit, maka dianggap kampus itu tidak bagus.
Padahal, kata "universitas" diambil oleh masyarakat Eropa dari kata Kulliyyah atau Jaami'ah. Menurut Prof. Syed Muhammad Naquib al-Attas, universitas ideal dalam Islam, adalah sebagai berikut: "Sebuah universitas Islam memiliki struktur yang berbeda dari universitas Barat, konsep ilmu yang berbeda dari apa yang dianggap sebagai ilmu oleh para pemikir Barat, dan tujuan dan aspirasi yang berbeda dari konsepsi Barat. Tujuan pendidikan tinggi dalam Islam adalah membentuk ‘manusia sempurna' atau ‘manusia universal'. (Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed Muhammad Naquib al-Attas, (Bandung: Mizan, 2006).
Prod. Wan Mohd Nor Wan Daud menguraikan gagasan Prof. al-Attas tersebut sebagai berikut: "Sebuah universitas seharusnya merupakan gambaran dari manusia universal atau ‘insan kamil'… Secara sederhana, insan kamil adalah seorang yang sanggup menampakkan sifat-sifat ketuhanan dalam perilakunya dan betul-betul menghayati kesatuan esensialnya dengan wujud Ilahiah tanpa harus kehilangan identitasnya sebagai seorang hamba dan makhluk-Nya. Golongan insan kamil ini dipimpin oleh Nabi Muhammad saw, diikuti semua nabi dan para hamba pilihan-Nya, yaitu para aulia dan ulama yang ilmu dan pemahaman spritualnya sangat mendalam." (Ibid).
Ketika Perguruan Tinggi lebih diutamakan hanya untuk melahirkan para pekerja, maka sejatinya, itu telah mereduksi makna Pendidikan Tinggi dan juga makna universitas itu sendiri. Inilah yang disebut oleh Prof. Naquib al-Attas sebagai proses "de-islamisation of language". Seharusnya, universitas adalah "gambaran dari manusia universal atau ‘insan kamil'."
Dalam buku "The Concept of Education in Islam", Prof. Naquib al-Attas menulis: "Many major key terms in the Islamic basic vocabulary of the languages of Muslim peoples have now been displaced and made to serve absurdly in alien fields of meaning. This modern cultural phenomenon is what is causing the confusion of the Muslim mind. It is a kind of regression towards non-Islamic worldviews; it is what I call the deislamization of language."
Jadi, kata Prof. Naquib al-Attas, banyak istilah-istilah kunci dalam kamus dasar Islam telah rusak maknanya. Fenomena di zaman modern ini telah menyebabkan terjadinya "kekacauan atau kerancuan dalam pemikiran kaum muslim", akibat terjadinya "deislamisasi bahasa".
Dalam sejumlah acara bertema pendidikan, berbagai pertanyaan yang muncul tampak berawal dari kerancuan makna kata-kata kunci dalam Islam, seperti makna "ilmu", "pendidikan", "pengajaran", "guru", "sekolah", "universitas", "adab", "akhlak", dan sebagainya.
Karena tujuan universitas adalah melahirkan manusia yang baik, maka menurut Prof. Wan Mohd Nor, pendidikan (ta'dib) dalam Islam, berlangsung seumur hidup, yang tidak terbatas pada sekolah atau universitas. Jika "universitas" hanya dipahami sebagai tempat training untuk bisa cari makan, maka itu sudah menyempitkan dan mengecilkan makna universitas. Jadi, ketika salah makna tentang satu istilah, maka akan terjadi salah paham. Ujungnya, salah perbuatan.
Lanjut baca,
https://member.adianhusaini.id/member/blog/detail/deislamisasi-istilah-universitas