KRISIS OTORITAS DALAM KEILMUAN COVID-19

KRISIS OTORITAS DALAM KEILMUAN COVID-19

KRISIS OTORITAS DALAM KEILMUAN COVID-19

Oleh: Dr. Adian Husaini (www.adianhusaini.id)

Alkisah, di tengah-tengah pandemi Covid-19 yang semakin meningkat, muncullah seorang dokter yang memiliki pandangan "berbeda". Dalam beberapa wawancara, ia menyatakan tidak percaya dengan virus ini. Menurutnya, kematian penderita Covid-19 bukan karena virus, tetapi karena kesalahan pemberian obat. Akhirnya, ia pun diamankan polisi.
Di kalangan umat Islam pun beredar berbagai pendapat dari sejumlah tokoh atau ustadz yang mengkritisi kebijakan pemerintah tentang penanganan pandemi Covid-19. Khususnya, tentang penutupan masjid. Kebijakan tutup masjid ini kemudian sedikit direvisi dengan membolehkan dibuka, tetapi tidak untuk ibadah berjamaah.

Di tengah-tengah situasi musibah seperti ini, beredar sejumlah video yang menunjukkan protes pedagang kecil terhadap perlakuan aparat. Mereka menolak dagangannya ditutup dan dirampas. Sebab, mereka harus mencari nafkah buat keluarganya. Berbagai komentar di media sosial menunjukkan adanya rasa simpati kepada para pedagang kecil itu.
Walhasil, di tengah kabar semakin banyaknya korban yang meninggal, begitu banyak corak informasi tentang covid-19 dan cara penanganannya. Lalu, dalam situasi seperti ini, bagaimana kita – sebagai muslim – memahami masalah pandemi Covid-19 ini dan bagaimana pula kita menyikapinya.

Fenomena kesimpangsiuran soal Covid-19 ini menunjukkan telah terjadinya krisis otoritas keilmuan. Kondisi ini diperparah dengan kecenderungan banyak orang untuk hanya mau menerima informasi yang disukainya; bukan informasi yang benar. Inilah yang disebut sebagai era post-truth. Melimpahnya informasi tidak membuat masyarakat menjadi tenang, tetapi menambah kebingungan.

Memahami masalah ini sepatutnya kita kembali kepada konsep keilmuan dalam Islam. Bahwa, konsep keilmuan Islam bersifat integral dan menerima tiga sumber ilmu: panca indera, akal, dan khabar shadiq. Konsep ilmu dalam Islam ini berbeda dengan konsep ilmu sekuler, yang berhenti pada panca indera dan akal. Jadi, Islam mengakui ilmu empiris (empirical knowledge), ilmu rasional (rational knowledge), dan ilmu wahyu (revealed knowledge).

Di tengah kesimpangsiuran informasi, sebenarnya ada fakta yang sudah terkonfirmasi. Fakta menunjukkan, bahwa korban virus Corona terus berjatuhan. Banyak orang sudah terkonfirmasi wafat setelah terinfeksi virus corona. Berita ini kita dapatkan dari banyak sekali ilmuwan dan dokter yang terpercaya.
Artinya, berita itu sudah bisa diterima sebagai ilmu, karena datang dari fakta – banyaknya orang meninggal – dan juga sumber "khabar shadiq", yang berasal dari ilmuwan-ilmuwan yang otoritatif dan terpercaya, dari berbagai penjuru dunia. Jadi, keberadaan virus Corona dan dampaknya terhadap kesehatan manusia sudah dipastikan kebenarannya.
Karena itu, tidak dapat diterima sebagai kebenaran, jika ada yang menyatakan, bahwa virus Corona ini tidak ada, alias fiktif. Begitu juga tidak dapat diterima sebagai kebenaran jika ada yang menyatakan, bahwa virus ini menyehatkan tubuh manusia.

Lanjut baca,

https://member.adianhusaini.id/member/blog/detail/krisis-otoritas-dalam-keilmuan-covid-19

 

Dipost Oleh Super Administrator

Admin adianhusaini.id

Post Terkait

Tinggalkan Komentar