Oleh: Dr. Adian Husaini (www.adianhusaini.id)
Kata ”demokrasi” kini sedang ramai dibincangkan lagi. Gara-garanya, pada 22 November 2020, beredar foto Gubernur DKI Anies Baswedan – dalam akun twitter -- sedang membaca buku berjudul ”How Democracies Die”. Buku karya Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt, dari Harvard University, itu memang berkisah tentang kematian demokrasi dalam perspektif historis.
Terlepas dari pro-kontra soal foto Gubernur DKI tersebut, bicara tentang demokrasi selalu menarik dan kontroversial. Itu karena, sejak awalnya, sistem demokrasi memang sudah menjadi perbincangan luas di kalangan para filosof, ilmuwan politik, juga politisi dan negarawan.
Filosof Yunani Aristoteles (384-322 BC), menilai sistem demokrasi merupakan bentuk pemerintahan buruk. Aristoteles membagi sistem pemerintahan menjadi enam. Tiga sistem yang baik, dan tiga yang buruk. Tiga sistem pemerintahan yang baik adalah: monarkhi, aristokrasi, dan polity. Sedangkan tiga bentuk pemerintahan yang buruk adalah: demokrasi, tirani, dan oligarkhi. Jadi, menurut Aristoteles, demokrasi adalah sistem pemerintahan terbaik, dari tiga yang buruk.
Sebelum abad ke-18, demokrasi bukanlah sistem yang dipilih umat manusia. Sistem ini ditolak di era Yunani dan Romawi dan hampir semua filosof politik menolaknya. Sejak abad ke-18, beberapa aspek dari demokrasi politik mulai diterapkan di negara-negara Barat. Beberapa ide ini datang dari John Locke, yang banyak memberi sumbangan pemikiran politik terhadap Inggris dan AS.
Lebih jauh perbincangan tentang demokrasi, lihat, Sharif, M.M., History of Muslim Philosophy, (Karachi: Royal Book Company, 1983). James A. Gould and Willis H. Truit (ed.), Political Ideologies, (New York:Macmillan Publishing, 1973).
Lanjut baca,
https://member.adianhusaini.id/member/blog/detail/demokrasi,-bukan-mantra