Artikel ke- 1.719
Oleh: Dr. Adian Husaini (www.adianhusaini.id)
Perhelatan besar lima tahunan di Indonesia -- berupa pemilihan presiden dan wakil presiden (capres dan cawapres) -- merupakan tradisi yang baik. Melalui cara ini, rakyat bisa melihat secara lebih cermat sosok, gagasan, dan kualitas intelektual para capres-cawapres. Ke depan, cara ini perlu ditingkatkan kualitasnya.
Misalnya, soal kualitas jiwa dan intelektual para capres-cawapres. Perlu ada uji komprehensif tentang hal itu. Saat ini, yang diuji dengan cermat hanya aspek fisik, melalui tes kesehatan. Para capres-cawapres diwajibkan menjalani tes kesehatan secara komprehensif sebagai syarat menjadi capres-cawapres. Kita percaya pada kredibilitas tim dokter yang menguji kesehatan capres-cawapres itu.
Ini merupakan tradisi yang baik. Sebab, memang memimpin satu negara sebesar dan sekomplek Indonesia, memerlukan kondisi kesehatan yang prima. Bahkan, selama menjadi presiden atau wakil presiden, mereka juga didampingi tim kesehatan terbaik.
Tetapi, pekerjaan presiden atau wakil presiden, yang lebih utama adalah pekerjaan jiwa dan pemikiran. Para pemimpin itu harus merupakan orang yang memiliki kualitas ilmu, intelektual, dan juga jiwa yang canggih. Dalam bahasa Rocky Gerung, aspek intelektualitas perlu lebih diperhatikan; bukan hanya aspek elektabilitas.
Jadi, yang dipentingkan bukan ia lulusan apa, dan ijazahnya apa. Banyak tokoh dan pemimpin kita yang hanya lulus pendidikan tingkat SMA, tetapi diakui oleh dunia sebagai pemimpin-pemimpin hebat. Contohnya, Mohammad Natsir, Sutan Syahrir, dan sebagainya. Bahkan ada yang lulusan SMP. Contoh yang mutakhir adalah Susi Pujiastuti.
Ijazah memang penting untuk mengukur kualitas intelektual seseorang. Tetapi, bukan yang terpenting. Yang dipersoalkan pada kasus majunya Gibran sebagai cawapres Prabowo Subianto masih didominasi faktor prosedur dan formalitas pendidikannya. Masalah ini sebenarnya menjadi lebih ringan, jika ada uji intelektualitas para capres-cawapres.
Negara perlu membentuk Tim Uji capres-cawapres yang terdiri atas beberapa pakar yang dikenal memiliki kualitas tinggi dalam ilmu dan akhlak. Merekalah yang menguji para capres-cawapres itu. Meskipun – misalnya – para capres-cawapres itu hanya memiliki ijazah formal SD, tetapi memiliki kualitas ilmu dan akhlak yang tinggi, maka ia lebih diutamakan ketimbang yang bergelar akademik tinggi tetapi lebih rendah kualitas ilmu dan akhlaknya.
Merujuk kepada pasal 31 (3) UUD 1945, tujuan pendidikan nasional adalah melahirkan manusia yang baik; yang beriman, bertaqwa, dan berakhlak mulia serta memiliki kecerdasan yang baik. Manusia seperti itulah yang sepatutnya diutamakan menjadi pemimpin bangsa.
Jika sang pemimpin memiliki kriteria manusia ideal seperti itu, maka akan mudahlah lembaga-lembaga pendidikan untuk mendidik akhlak para muridnya. Akhlak mulia merupakan asas kemajuan dan kebangkitan bangsa. Bangsa mana pun akan bangkit dan maju jika nilai-nilai akhlak itu yang baik itu dicontohkan langsung oleh para pemimpinnya.
Karena itu, sepatutnya pendidikan kita tidak didominasi aspek-aspek formalisme sempit. Untuk masuk Perguruan Tinggi, misalnya, calon mahasiswa disyaratkan harus menempuh pendidikan tingkat SD-SMA selama 12 tahun. Titik! Tidak ada kompromi. Harus 12 tahun. Ada sedikit pengecualian melalui program akselerasi.
Lanjut baca,