HAKIKAT SYARIAT DAN INTEGRASI BANGSA 

HAKIKAT SYARIAT DAN INTEGRASI BANGSA 

Oleh: Dr. Adian Husaini (www.adianhusaini.id)

    Perkembangan syariat Islam di Indonesia sebenarnya semakin diterima sebagai satu keniscayaan. Sebab, seorang muslim yang baik, pasti berkeinginan menjalankan syariat agamanya. Dan di Indonesia kini ada Dewan Syariah Nasional (DSN) yang dipimpin oleh Wakil Presiden KH Ma'ruf Amin. 
     Namun, meskipun begitu, masih saja ada suara-suara yang mencoba membenturkan antara syariat Islam dengan Pancasila; atau membenturkan antara syariat Islam dengan integrasi bangsa. Ada yang menulis, bahwa keinginan untuk memperjuangkan nilai-nilai Islam dalam perda syariah dapat melemahkan pilar-pilar integrasi masyarakat dan bangsa.
     Penolakan terhadap syariatIslam biasanya disertai dengan penerimaan yang membabi buta pula terhadap hukum-hukum Barat. Hukum-hukum warisan kolonial Belanda dan hukum-hukum Barat lain dianggap berlaku universal untuk seluruh umat manusia. Karena itu, pemberlakuan hukum kolonial tidak dikatakan bertentangan dengan integrasi bangsa Indonesia. 
     Sebaliknya, oleh sebagian orang, penerapan Syariat Islam dikatakan  dapat melemahkan pilar-pilar integrasi masyarakat dan bangsa.  Logika semacam ini tentu sangat keliru. Bukankah Rasulullah saw diutus untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam (rahmatan lil alamin). Apakah bukan sesuatu yang sangat beresiko secara aqidah, jika seorang yang mengaku Muslim tetapi justru menyatakan syariat Nabi Muhammad adalah ancaman bagi integrasi bangsa? 
     Dalam kasus Indonesia, hukum Islam sudah diberlakukan di kepulauan Nusantara, beratus-ratus tahun sebelum kedatangan penjajah Belanda. Sebagai contoh, pada tahun 1628, Syekh Nuruddin ar-Raniri di Aceh menulis Kitab "Shirathal Mustaqim", yang merupakan kitab hukum pertama yang disebarkan ke seluruh Nusantara untuk menjadi pegangan umat Islam. 
     Oleh Syekh Arsyad al-Banjari, kitab itu kemudian diperluas dan diperpanjang uraiannya dalam sebuah Kitab berjudul "Sabilul Muhtadin", serta dijadikan pegangan dalam menyelesaikan sengketa di daerah Kesultanan Banjar. Di daerah Kesultanan Palembang dan Banten diterbitkan pula beberapa kitab hukum Islam yang dijadikan pegangan oleh umat Islam dalam menyelesaikan masalah hidup dan kehidupan mereka. 
Hukum Islam diikuti pula oleh pemeluk Islam di wilayah-wilayah Kerajaan-kerajaan Demak, Jepara, Tuban, Ngampel, Mataram, dan juga Mataram. Ini dapat dibuktikan dari karya para pujangga yang hidup pada masa itu, seperti "Sajinatul Hukum". 
     Dengan fakta-fakta tersebut, Prof. Muhammad Daud Ali, guru besar hukum Islam di Universitas Indonesia, menyimpulkan, bahwa "sebelum Belanda mengukuhkan kekuasaannya di Indonesia, hukum Islam mempunyai kedudukan sendiri di dalam masyarakat. Sebagai hukum yang berdiri sendiri, hukum Islam telah ada dan berlaku di dalam masyarakat, tumbuh dan berkembang disamping kebiasaan atau adat penduduk yang mendiami Nusantara ini."  (Lihat, Muhammad Daud Ali, ‘Hukum Islam: Peradilan Agama dan Masalahnya', dalam Juhaya S. Praja dkk, Hukum Islam di Indonesia, (Bandung: Rosdakarya, 1994). 

Lanjut baca,

https://member.adianhusaini.id/member/blog/detail/hakikat-syariat-dan-integrasi-bangsa

 

Dipost Oleh Super Administrator

Admin adianhusaini.id

Post Terkait

Tinggalkan Komentar