Artikel Terbaru (ke-1.588)
Oleh: Dr. Adian Husaini (www.adianhusaini.id)
Sebagai negeri muslim terbesar di dunia, Indonesia kembali menjadi incaran pegiat LGBT internasional untuk memuluskan misi mereka melakukan legalisasi LGBT di dunia internasional. Tersiar kabar bahwa Indonesia akan menjadi ajang pertemuan komunitas lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT) se-ASEAN, di Jakarta pada 17-21 Juli 2023.
Acara itu diorganisasi oleh ASEAN SOGIE Caucus, satu organisasi di bawah Dewan Ekonomi dan Sosial Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sejak 2021, bersama Arus Pelangi dan Forum Asia. Tetapi, lokasi persisnya masih belum diketahui.
Sejak berita itu mencuat, umat Islam seperti tersulut. Berbagai group WA membahas berita tersebut dan hampir semuanya meminta agar umat Islam tidak diam. Ada yang bertanya, mengapa harus di Indonesia? Mengapa tidak di Thailand atau negara lain yang lebih menerima eksistensi dan legalisasi LGBT?
Jawabnya mudah. Sebab, Indonesia adalah negeri muslim terbesar di dunia. Indonesia dipandang sebagai salah satu benteng pertahanan kokoh bagi usaha legalisasi LGBT. Masyarakat dan pemerintah RI masih sangat sensitif dengan upaya promosi dan legalisasi LGBT.
Kedutaaan Inggris di Jakarta pernah mengibarkan bendera LGBT, langsung diprotes oleh berbagai kalangan. Indonesia kemudian juga menolak utusan khusus pemerintah AS bidang LGBT untuk datang ke Indonesia. Bahkan, institusi TNI pun bersikap tegas terhadap anggotanya yang terlibat dalam praktik LGBT.
Pada 13 September 2022, laman berita kompas.com menurunkan berita berjudul: “Terbukti LGBT, Pengadilan Militer Jakarta Pecat dan Penjarakan 3 Anggota TNI”. Disebutkan, bahwa Pengadilan Militer II-08 Jakarta menjatuhkan pidana penjara dan memecat tiga oknum anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang terbukti melakukan praktik lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT).
Ketiga oknum TNI itu dinyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana 'ketidaktaatan yang disengaja'”. Ketiga terdakwa juga dijatuhi hukuman penjara selama 5 bulan. Dalam pertimbangannya, hakim menyatakan, ketiga oknum anggota TNI itu terbukti melakukan hubungan sesama jenis di mess di Cilangkap, Jakarta Timur. Perbuatan menyimpang itu disebut dilakukan secara berulang.
Demikian berita tentang keputusan TNI terhadap tiga oknumnya yang terbukti melakukan pelanggaran praktik LGBT. Sikap tegas TNI ini patut diapresiasi. Pertimbangan hakim Pengadilan Militer juga menyebut, ketiganya melanggar norma agama dan kesusilaan. Bagaimana pun, agama menjadi alasan paling absah untuk menyatakan perilaku LGBT sebagai tindak kejahatan.
Jadi, begitulah sensitivitas dan ketegasan bangsa Indonesia terhadap pelaku seks menyimpang yang terus berusaha mencari simpati agar bisa dilegalkan di Indonesia. Sayangnya, ketegasan sikap terhadap perilaku seks menyimpang ini belum diterapkan dalam bidang hukum.
Upaya Aliansi Cinta Keluarga Indonesia (AILA) untuk melakukan judicial review terhadap pasal-pasal LGBT dalam KUHP tidak diterima oleh Mahkamah Konstitusi, meskipun keputusannya tidak bulat. Lima hakimnya menolak, dan empat hakim menerima. Hingga kini, hukum di Indonesia belum secara tegas menyatakan, bahwa tindakan homoseksual/lesbian adalah satu tindak pidana, sehingga aparat penegak hukum berwenang untuk menangkap dan mengadili para pelakunya. Begitu juga, belum ada larangan tegas terhadap kampanye LGBT.
Lanjut baca,