Artikel Terbaru (ke-1.589)
Oleh: Dr. Adian Husaini (www.adianhusaini.id)
Menyimak berbagai lontaran pemikiran Panji Gumilang dan sejumlah santri al-Zaytun serta para pendukungnya, kita patut prihatin. Sebab, mereka melontarkan pendapat yang salah tentang al-Quran, tata cara shalat, dan sebagainya. Yang menyedihkan, sepertinya mereka tidak sadar jika pendapat mereka itu salah dan menyesatkan.
Lebih aneh lagi, ada yang membela pemikiran salah dengan menyatakan, bahwa hanya Allah saja yang berhak menyatakan bahwa pemikiran itu sesat atau tidak sesat. Ini jenis manusia keempat yang sangat sulit ditangani. Yakni, orang yang tidak tahu dan tidak tahu kalau ia tidak tahu (rajulun laa yadrii wa-laa yadrii annahuu laa yadrii).
Manusia jenis ini tidak bisa diberitahu atau diajari, karena sudah merasa tahu. Bahkan, ia menyebarkan ilmunya yang salah kepada orang lain, dengan sangat bersemangat. Hal seperti ini pernah saya alami saat masih menjadi mahasiswa di IPB (1984-1989).
Ketika itu, salah satu mahasiswa yang serumah dengan saya menyatakan, bahwa ia mengikuti suatu pengajian yang menyatakan, bahwa syahadatnya selama ini belum sah, karena tidak disaksikan oleh seorang pemimpin (imam). Suatu saat, ia membawa seorang temannya yang menyatakan pendapat semacam itu.
Lalu, saya tanya, bagaimana nasib orang yang belum bersyahadat di depan imam dia. Ia menjawab, bahwa jamaah dia itu seperti perahu Nabi Nuh. Yang tidak ikut perahunya maka akan tenggelam. Saya tanya dengan tegas: “Berarti yang tidak ikut jamaah anda dianggap kafir dan tidak selamat?” Ia menjawab, “Ya.”
Saat itu, logika saya tidak dapat menerima. Terbayang di benak saya, bagaimana ulama-ulama hebat seperti Buya Hamka dan para kyai yang saya kagumi akan masuk neraka hanya karena tidak bersyahadat di depan imam kelompok ini. Ini tidak masuk akal sehat.
Ternyata, mahasiswa yang mengikuti paham seperti ini tidak sedikit. Ada beberapa teman dekat saya. Mereka rata-rata aktivis Islam yang sangat bersemangat dalam beribadah dan berjuang menegakkan Islam. Beberapa diantaranya senantiasa membawa al-Quran di mana saja. Mereka rajin tahajjud dan shalat-shalat sunnah lainnya.
Mereka terjebak ke dalam pemahaman yang salah tentang al-Quran dan hadits Nabi, karena kurang ilmu. Bahkan, ada beberapa yang menikah tanpa memberitahukan orang tuanya. Peristiwa ini akhirnya menimbulkan kehebohan dan dilakukanlah penanggulangan secara lebih serius, sehingga paham seperti ini tidak berkembang lagi di kalangan mahasiswa.
Salah seorang ustadznya pernah didatangkan. Saya bertanya kepada dia, “Apa dalil al-Quran yang mewajibkan seseorang harus bersyahadat di depan imam kelompoknya?” Ia menjawab dengan menyebut sejumlah ayat-al-Quran yang mengandung lafadz, “Isyhaduu ….”
Saya minta dijelaskan lagi, mana ayat-ayatnya. Sebab, pada ayat-ayat al-Quran itu tidak ada kata-kata, “Diwajibkan atas kamu bersyahadat di depan imam.” Padahal, ada ayat-ayat al-Quran yang mengandung lafadz perintah (fiil amar), tetapi hukumnya tidak wajib. Misalnya, perintah untuk bertebaran di muka bumi, setelah shalat Jumat. (QS Al-Jumuah: 10).
Jadi, yang jelas-jelas diperintahkan Allah saja, bisa tidak wajib hukumnya. Apalagi, jika tidak ada perintah yang jelas dalam al-Quran. Ketika saya sampaikan argumen tersebut, maka Ustadz itu tidak bisa menjawab. Tetapi, ia tetap bertahan, bahwa mengikrarkan syahadat di depan imamnya adalah wajib.
Lanjut baca,
PENGALAMAN BERDEBAT DENGAN AKTIVIS NII (adianhusaini.id)