Artikel Terbaru (ke-1.626)
Oleh: Dr. Adian Husaini (www.adianhusaini.id)
Bangsa Indonesia sepakat, bahwa tanggal 17 Agustus 1945 adalah hari bahagia. Umat Islam pun bersepakat, bahwa Kemerdekaan RI wajib dipertahankan. Itu dibuktikan dengan dukungan seluruh umat Islam terhadap Fatwa Jihad KH Hasyim Asy’ari, 22 Oktober 1945.
Berbeda halnya dengan tanggal 18 Agustus 1945. Pada hari itu, umat Islam harus menerima tekanan untuk membuang Tujuh Kata dari Naskah Pembukaan UUD 1945. Yaitu: “(Ketuhanan), dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.”
Namun, umat Islam yakin dengan takdir Ilahi. Semua peristiwa pasti ada hikmahnya. Para tokoh Islam yang berunding pada 18 Agustus 1945 adalah pejuang yang tak diragukan integritasnya, seperti Kasman Singodimedjo.
Demi kebersamaan dan keutuhan negara yang baru merdeka, umat Islam pun menerima perubahan itu. Padahal, dalam sidang BPUPK , 11 Juli 1945, Bung Karno menegaskan: “Saya ulangi lagi bahwa ini satu kompromis untuk menyudahi kesulitan antara kita bersama. Kompromis itu pun terdapat sesudah keringat kita menetes. Tuan-tuan, saya kira sudah ternyata bahwa kalimat “dengan didasarkan kepada ke-Tuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” sudah diterima Panitia ini.”
Dalam Panitia Sembilan bentukan Bung Karno ada Mr. Maramis yang beragama Kristen. Tapi, upaya Bung Karno mempertahankan keutuhan Piagam Jakarta tetap gagal meyakinkan pihak Katolik dan Protestan. Bung Hatta, dalam bukunya, Sekitar Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 menulis:
“… wakil-wakil Protestan dan Katolik dalam kawasan Kaigun berkeberatan sangat atas anak kalimat dalam Pembukaan UUD yang berbunyi “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.” Walaupun mereka mengakui bahwa anak kalimat tersebut tidak mengikat mereka, dan hanya mengikat rakyat yang beragama Islam, namun mereka memandangnya sebagai diskriminasi terhadap mereka golongan minoritas…Kalau Pembukaan diteruskan juga apa adanya, maka golongan Protestan dan Katolik lebih suka berdiri di luar Republik.” (Dikutip dari Endang Saifuddin Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945: Sebuah Konsensus Nasional Tentang Dasar Negara Republik Indonesia (1945-1949), (Jakarta: GIP, 1997).
Tekanan pihak Katolik dan Kristen itu diceritakan juga oleh anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), Kasman Singodimedjo.
“Memang pintar minoritas non-Muslim itu. Pintar untuk memanfaatkan kesempatan moment psychologist. Dalam pada itu pembicaraan di dalam lobbying mengenai usul materi tersebut agak tegang dan sengit juga. Tegang dan sengit karena Piagam Jakarta itu pada tanggal 22 Juni 1945 toch dengan seksama dan bijaksana telah ditetapkan dan diputuskan bersama… Apa dari rumus tujuh kata-kata itu yang dapat dianggap sebagai merugikan golongan non-Muslim? Golongan ini sama sekali tidak akan berkewajiban atau diwajibkan untuk menjalankan syariat Islam; tidak! Bahkan toleransi Islam menjamin golongan non-Muslim itu mengamalkan ibadahnya sesuai dengan keyakinannya.
Bahkan golongan non-Muslim mempunyai kepentingan yang besar sekali, bahwa ummat Islam itu akan mentaati dan menjalankan agamanya (Islam) setertib-tertibnya, sebab jika tidak begitu maka golongan minoritas non Islam itulah pasti akan menjadi korban dari pada mayoritas brandal-brandal, bandit-bandit dan bajingan “selam” yang tidak tertib Islam itu!... (Lihat buku: Hidup Itu Berjuang, Kasman Singodimedjo 75 Tahun).
Lanjut baca,