Artikel ke-1.856
Oleh: Dr. Adian Husaini (www.adianhusaini.id)
Pemerintah sebenarnya cukup serius dalam melaksanakan pendidikan karakter. Peraturan menteri sudah dikeluarkan. Bahkan, Presiden juga mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) No 17 tahun 2017 tentang Pendidikan Karakter. Namanya: “Perpres tentang Penguatan Pendidikan Karakter.”
Disebutkan dalam pertimbangan Perpres tersebut: (1) bahwa Indonesia sebagai bangsa yang berbudaya merupakan negara yang menjunjung tinggi akhlak mulia, nilai-nilai luhur, kearifan, dan budi pekerti; (2) bahwa dalam rangka mewujudkan bangsa yang berbudaya melalui penguatan nilai-nilai religius, jujur, toleran, disiplin, bekerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi, komunikatif, cinta damai, gemar membaca, peduli lingkungan, peduli sosial, dan bertanggung jawab, perlu penguatan pendidikan karakter; (3) bahwa penguatan pendidikan karakter sebagaimana dimaksud dalam huruf b merupakan tanggung jawab bersama keluarga, satuan pendidikan, dan masyarakat.
Sudah banyak pendapat pakar pendidikan tentang metode penguatan pendidikan karakter di Indonesia. Kita pun sudah melihat hasilnya. Setelah berjalan bertahun-tahun, tampak hasilnya belum memuaskan. Pada 3 Mei 2018, situs www.cnnindonesia.com menurunkan tulisan berjudul: “Mengungkap Persoalan di Balik Gagalnya Pendidikan Berkarakter.”
Staf Ahli Bidang Penguatan Pendidikan Berkarakter Kemendikbud Arie Budhiman mengakui banyak guru kesulitan mengimplementasikan pendidikan berkarakter di sekolah. "Banyak guru yang menganggap pendidikan berkarakter itu sesuatu yang baru dan sudah parno duluan sebelum dijalankan. Padahal dengan mengembangkan kearifan lokal, muncul perubahan perilaku yang signifikan asal terus menerus dilakukan dengan telaten," kata Arie dalam temu media bersama Wahana Visi Indonesia (WVI) memperingati Hari Pendidikan Nasional Jakarta, Kamis (3/5/2018).
Di Program Doktor Pendidikan Agama Islam, telah diluluskan puluhan disertasi doktor pendidikan karakter di Indonesia. Seorang mahasiswi yang lama tinggal di Jepang, menulis disertasi yang isinya membandingkan pendidikan karakter satu sekolah di Jakarta dengan satu sekolah di Jepang. Hasilnya, secara konsep, pendidikan karakter di Indonesia sudah sangat baik. Tetapi, dalam pelaksanaannya, sekolah di Jepang berhasil menerapkan konsepnya dengan lebih baik.
Ada kekhawatiran, kegagalan pendidikan karakter di Indonesia selama ini diakibatkan oleh kuatnya budaya kemunafikan sebagaimana dinyatakan oleh budayawan Mochtar Lubis. Apa yang dikatakan berbeda dengan yang dikerjakan. Karakter lain manusia Indonesia, kata Mochtar Lubis, adalah kurang sabar dan suka mencari jalan pintas untuk meraih sukses.
Mungkin saja yang dikatakan oleh Mochtar Lubis itu benar adanya. Tetapi, karakter itu bisa diubah. Karakter ibarat otot yang bisa dilatih terus-menerus agar menjadi kuat. Tetapi, itu saja belum cukup. Pembentukan karakter memerlukan keteladanan. Jika kita ingin pelajar dan mahasiswa kita memiliki karakter jujur, maka para pemimpin negara, pimpinan sekolah/kampus dan para guru, harus bisa menjadi teladan.
Lanjut baca,
KEMBALIKAN PENDIDIKAN KARAKTER KE MASING-MASING AGAMA (adianhusaini.id)