Oleh: Azzam Habibullah
(Mahasiswa Sekolah Tinggi Ilmu Dakwah Mohammad Natsir -- DDII)
Pada pertengahan abad ke-14, seorang tokoh Italia, Giovanni Boccaccio (w. 1375) merilis novel berjudul The Decameron (English: Ten Days' Work). Isinya, kumpulan cerita pendek tentang sekelompok anak muda (tujuh wanita dan tiga pria) yang mencoba melarikan diri selama sepuluh hari dari Wabah Hitam (Black Death) yang berkecamuk di kota Firenze, Italia.
Seratus kisah di dalamnya - disebut sejarawan sastra - merupakan gambaran tentang degradasi sosial dan moral masyarakat Eropa di masa Pandemi. Boccacio bukan saja mengarang. Sebagai salah satu penduduk Eropa di abad keempatbelas, ia melihat sendiri bagaimana wabah Black Death merenggut jutaan penduduk Eropa dan menghancurkan tanah airnya. Latar belakang yang mengerikan inilah yang disebut mendorong Boccaccio melakukan dekonstruksi nilai-nilai kemanusiaan yang hampir hilang dengan karya ini.
Francesco De Sanctis, seorang kritikus sastra yang cukup berpengaruh di abad ke-19, menganggap Decameron sebagai pelopor tatanan moral baru yang menggantikan semangat transedental Abad Pertengahan Eropa. Di masa ini, segala bentuk perhatian terhadap Tuhan, seperti penyelarasan antara iman dengan sains, pikiran dan perasaan, kehendak dan tindakan, seluruhnya digantikan oleh pemahaman baru yang dianggap lebih condong kepada manusia. ( Rossi, Joseph. "De Sanctis' Criticism: Its Principles and Method." PMLA 54, no. 2 (1939): pp.550. Accessed September 12, 2021. doi:10.2307/458573).
Melalui karyanya, Boccaccio menunjukkan, bahwa sejatinya manusia berjuang dengan keberuntungan dan belajar untuk mengatasi permasalahannya sendiri. Demi mencapai derajat mulia dan mewujudkan kebahagiaan dunia, manusia mesti menerima kehidupan apa adanya; membatasi keinginannya; serta menerima konsekuensi atas segala tindakannya, betapapun itu bertentangan dengan harapannya dan seringkali berakhir tragis.
Boccaccio begitu menekankan kekuatan manusia pada urusan dunia. Kesengasaraan manusia yang terjadi akibat wabah membuatnya merasa tidak perlu mengacu pada kemungkinan campur tangan Tuhan. Tidak heran dalam beberapa bagian novelnya, Boccaccio dengan fasih mencibir sifat asketisme (kezuhudan) dan menjunjung tinggi erotisme sebagai bentuk pembebasan manusia dari kekangan nilai-nilai religius. (Bosco, Umberto. "Giovanni Boccaccio". Encyclopedia Britannica, 14 Feb. 2021, https://www.britannica.com/biography/Giovanni-Boccaccio. Accessed 12 September 2021).
Lanjut baca,
https://member.adianhusaini.id/member/blog/detail/ketika-eropa-harus-belajar-pada-ibnu-hajar