Oleh: Dr. Adian Husaini (www.adianhusaini.id)
Nabi Ibrahim a.s. – meskipun telah mendapatkan petunjuk dari Allah SWT – tetap diperintahkan untuk berpikir tentang alam semesta. Dengan itu, sampailah ia pada satu tingkat keyakinan. “Dan demikianlah Kami memperlihatkan kepada Ibrahim kekuasaan (Kami yang terdapat) di langit dan di bumi, dan agar dia termasuk orang-orang yang yakin." (QS al-An'am: 75).
Keyakinan adalah hal penting dalam kehidupan manusia. Dengan keyakinan itulah, seorang berani melakukan hal-hal besar dalam hidupnya. Dengan keyakinan pula, manusia meraih kebahagiaan. Imam al-Ghazali, seperti dikutip Buya Hamka dalam bukunya, Tasauf Modern, mengungkapkan: "Bahagia dan kelezatan yang sejati, ialah bilamana dapat mengingat Allah." Hutai'ah, seorang ahli syair, menggubah sebuah syair: wa-lastu araa al-sa'adata jam'u maalin – wa-laakin al-tuqaa lahiya al-sa'iidu (Menurut pendapatku, bukanlah kebahagiaan itu pada pengumpul harta benda; Tetapi, taqwa akan Allah itulah bahagia).
Prof. S.M. Naquib Al-Attas mendefinisikan kebahagiaan (sa'adah/happiness) sebagai: "Kesejahteraan" dan "kebahagiaan" itu bukan dianya merujuk kepada sifat badani dan jasmani insan, bukan kepada diri hayawani sifat basyari; dan bukan pula dia suatu keadaan akal-fikri insan yang hanya dapat dinikmati dalam alam fikiran dan nazar-akali belaka. Kesejahteraan dan kebahagiaan itu merujuk kepada keyakinan diri akan Hakikat Terakhir yang Mutlak yang dicari-cari itu – yakni: keadaan diri yang yakin akan Hak Ta'ala – dan penuaian amalan yang dikerjakan oleh diri itu berdasarkan keyakinan itu dan menuruti titah batinnya." (SMN al-Attas, Ma'na Kebahagiaan dan Pengalamannya dalam Islam, (Kuala Lumpur: ISTAC:2002), pengantar Prof. Muhammad Zainy Uthman).
Jadi, kebahagiaan adalah kondisi hati, yang dipenuhi dengan keyakinan (iman), dan berperilaku sesuai dengan keyakinannya itu. Nabi Ibrahim hidup dengan bahagia, meskipun harus menjalani ujian demi ujian hidup yang sangat berat. Bilal bin Rabah merasa bahagia dapat mempertahankan keimanannya, meskipun dalam kondisi disiksa. Imam Abu Hanifah merasa bahagia meskipun harus dijebloskan ke penjara dan dicambuk, karena menolak jadi pejabat.
Lanjut baca,
https://member.adianhusaini.id/member/blog/detail/keyakinan,-dasar-kebahagiaan