Oleh: Dr. Mohammad Isa Anshary
(Sejarawan, alumnus Program Doktor UIKA Bogor)
“Tidak pantas jika Baginda sebagai Raja bergaul dengan orang-orang Kristen (Belanda). Para pembesar yang mengabdi kepada Baginda akan merasa hina melihat yang demikian itu. Orang Jawa nanti akan memeluk agama Kristen. Dengan keadaan ini, Baginda sebagai Raja tidak dapat menjalankan pemerintahan karena kewibawaan Baginda di mata rakyat akan turun… Leluhur Baginda tidak pernah bersekutu dengan orang-orang Kristen (Belanda). Pemerintahan tidak dicampuri oleh orang lain, tetapi dijalankan sendiri. Oleh karena mereka adalah benalu, bilamana bertempat di suatu pohon akhirnya ini akan kering.” Demikian nasihat Trunajaya kepada Amangkurat II dalam suratnya pada 1679, seperti yang dicantumkan dalam Daghregister 15 April 1680 hal. 174.
Trunajaya adalah seorang bangsawan Madura yang melakukan pemberontakan terhadap Raja Mataram Amangkurat I, lalu Amangkurat II. Pemberontakan ini (1674–1680) semula adalah gerakan protes terhadap kezaliman Amangkurat I terhadap rakyat Mataram. Tanpa diduga, ia kemudian menjadi gerakan jihad melawan VOC Belanda.
Berbeda dengan ayahnya, Sultan Agung, Amangkurat I adalah raja yang bermoral buruk. Dia senang bermain wanita, mudah curiga, dan gemar membunuh siapa saja yang tidak disukainya. Pada 1659, dia memerintahkan prajuritnya untuk membantai para pemuka agama Islam beserta istri dan anak mereka yang mencapai jumlah 6.000 orang dalam waktu kurang dari setengah jam. Mereka dibantai karena dicurigai terlibat dalam konspirasi melawan Amangkurat I oleh adiknya, Pangeran Alit. Amangkurat I juga bereaksi keras terhadap pertumbuhan Islamisasi dalam masyarakat Jawa. Dia merevisi administrasi peradilan, yang belum lama diperkenalkan ayahnya, dan membatasi yurisdiksi pengadilan agama. Dia menolak gelar “sultan” dan lebih suka gelar Jawa “susuhunan”. (Bernard H.M. Vlekke, Nusantara Sejarah Indonesia, hal. 196).
Penggantian gelar ini untuk memposisikan dirinya lebih tinggi dari para wali yang memakai gelar “sunan” dan dianggap jauh lebih agung daripada gelar “sultan”. (Soemarsaid Moertono, Negara dan Usaha Bina-Negara di Jawa Masa Lampau, hal. 41) Selain itu, Amangkurat I juga mengadakan perjanjian dengan VOC yang merugikan Mataram dan menguntungkan VOC. Dalam perjanjian ini, Mataram mengakui kedaulatan Belanda di Batavia.
Oleh karena track record Amangkurat I yang sangat buruk, banyak orang tidak menyukainya, termasuk putra mahkota sendiri, Pangeran Anom. Pangeran Anom bertekad menumbangkan pemerintahan ayahnya. Dia meminta bantuan Raden Kajoran untuk memimpin revolusi. Raden Kajoran menolak permintaan Pangeran Anom, namun melimpahkannya kepada menantunya, Raden Trunajaya. Akhirnya, kedua bangsawan itu sepakat untuk menyalakan api revolusi. Apabila revolusi sudah berkobar, Raden Kajoran dan Pangeran Anom akan tampil ke muka. Kedua bangsawan ini mempunyai tujuan yang sama, yaitu menumbangkan pemerintahan Amangkurat I, namun mereka berbeda dalam dasar pertimbangan. Pangeran Anom menumbangkan pemerintahan ayahnya untuk merebut mahkota Mataram, sedangkan Trunajaya didorong oleh rasa keadilan untuk membasmi kezaliman dan menghidupkan pula kebesaran Mataram. Perbedaan dasar ini nanti akan mengakibatkan perpecahan antara Trunajaya dan Pangeran Anom yang berakhir dengan kematian Trunajaya. (Raden Soenarto Hadiwidjojo, Raden Trunodjojo Panembahan Maduratna Pahlawan Indonesia, hal. 11-12)
Lanjut baca,