Artikel ke-1.315
Oleh: Dr. Adian Husaini (www.adianhusaini.id)
Salah satu tokoh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Malaysia, S.M. Mohamed Idris, pernah menulis satu buku kecil berjudul: ”Globalization and the Islamic Challenge, (Kedah: Teras, 2001).” Di awal tahun 2000, saya pernah mengunjungi kantornya di Pulau Penang, Malaysia. Ia lahir tahun 1926, dan wafat tahun 2019.
Ia dikenal sebagai aktivis senior yang berpengaruh dalam sejumlah pembuatan kebijakan tentang lingkungan dan konsumen. Dua lembaga yang lama dipimpinnya adalah: Sahabat Alam Malaysia dan Consumer Association of Penang.
Dalam buku ini, ia mencatat, bahwa globalisasi mempunyai banyak aspek yang perlu dikaji. Globalisasi bukan hanya melahirkan ketimpangan global di bidang politik dan ekonomi, tetapi, menurutnya, globalisasi merupakan ancaman yang sangat serius terhadap kaum Muslim.
“Globalization poses a serious threat to Muslims. It not only brings about economic exploitation and impoverishment, but also serious erosion of Islamic beliefs, values, culture, and tradition,” tulisnya.
Jadi, kata SM Idris, globalisasi bukan hanya mempraktikkan eksploitasi ekonomi dan pemiskinan, tetapi juga mengikis keyakinan, nilai-nilai, budaya, dan tradisi Islam. Kapitalisme global mempromosikan nilai-nilai individualisme, materialisme, konsumerisme, dan hedonisme.
Paham-paham itu jelas langsung menusuk jantung ajaran Islam. Pasca Perang Dingin, menurut SM Idris, satu-satunya kekuatan yang tersisa yang mampu memberikan tantangan terhadap proyek Globalisasi adalah dunia Islam. Ekonomi Cina dan Hindu, tampaknya cenderung mengintegrasikan diri ke dalam ekonomi global, walaupun hal itu akhirnya akan menghancurkan identitas peradaban mereka. (S.M. Idris, Globalization and the Islamic Challenge, (Kedah: Teras, 2001).
Apa yang ditulis oleh SM Idris itu sejalan dengan pendapat banyak ilmuwan – muslim maupun bukan muslim – yang menyimak dampak peradaban modern terhadap kehidupan umat manusia. Bahwa, umat manusia saat ini sedang menghadapi tantangan kerusakan nilai-nilai kehidupan yang sangat serius. Peradaban Barat yang masih mendominasi umat manusia terus menggerus nilai-nilai tradisional yang ada, dan memaksakan nilai-nilai sekuler yang menafikan Tuhan.
Lawrence E. Cahoone, dalam bukunya The Dilemma of Modernity (1988), menggambarkan sejak masa renaissance, manusia di Barat sudah harus hidup dalam alam modernitas, laksana ikan yang hidup di air. Bagi masyarakat non-Barat, kata Cahoone, mereka juga dipengaruhi oleh budaya modernitas Barat dengan kuat, suka atau tidak.
Inti modernitas, menurut pakar sosiologi Max Weber, adalah rasionalisasi, yang mensyaratkan adanya proses sekularisasi. Di Barat, kata David West, dalam bukunya “An Introduction to Continental Philosophy”, (1996), rasionalisasi selalu dikaitkan dengan proses sekularisasi yang oleh Weber disebut “dis-enchantment”.’ Masyarakat modern memang menempatkan akal manusia sebagai penentu kebenaran -- bukan lagi agama -- dan menjadikan agama sebagai urusan pribadi. (Alain Touraine, Critique of Modernity, 1995).
Lanjut baca,
https://member.adianhusaini.id/member/blog/detail/kita-memerlukan-dai-dai-peradaban