MEMANDANG AGAMA-AGAMA DENGAN ADIL

MEMANDANG AGAMA-AGAMA DENGAN ADIL

Oleh: Dr. Adian Husaini (www.adianhusaini.id)

Para pengamat agama menyebutkan bahwa jumlah agama di dunia saat ini mencapai ribuan. Ada yang menyebut jumlahnya mencapai 4000 lebih. Mungkin bisa lebih dari itu, jika setiap jenis kepercayaan dimasukkan ke dalam agama-agama. Misalnya, ratusan aliran kepercayaan dan agama-agama suku di Indonesia juga dihitung sebagai ”agama”.

Berapa pun jumlah agama yang ada, seorang muslim sudah memiliki pandangan yang jelas, bahwa agama-agama dibagi menjadi dua: agama yang benar dan agama yang salah. Dalam kitab Iqtidha' ash-Shirath al-Mustaqim Mukhaalafata Ashhabil Jahiim, Ibn Taymiyah menulis satu sub-bab berjudul: "Al Maghdhub 'alahim: al-yahuud, wa adh-dhaalluna: an-Nashara" (Kaum yang dimurkai Allah adalah Yahudi, yang Tersesat adalah Nashrani). 

Dalam Kitabnya itu, Ibn Taymiyah mengutip sabda Nabi saw yang menyatakan: "Sesungguhnya orang-orang Yahudi adalah yang dimurkai, sedangkan kaum Nasrani adalah kaum yang tersesat." (HR Tirmidzi). 

Karena itulah, dalam setiap shalatnya, setiap muslim pasti berdoa agar ditunjukkan jalan yag lurus dan diselamatkan dari jalan yang sesat. Itu artinya, tidak semua ”jalan” itu menuju keselamatan. Gambaran kaum pluralis bahwa agama-agama adalah jalan-jalan yang sama-sama sah menuju Tuhan yang sama, adalah pandangan yang salah dan bertentangan dengan fakta.

Dalam berbagai kajian tentang agama, salah satu kekeliruan besar, adalah menyamakan kedudukan dan sifat Islam dengan agama lain. Misalnya, kajian tentang sosiologi agama, psikologi agama, dan sebagainya, biasanya mendudukkan agama-agama itu dengan posisi yang sama.

Sebagai contoh, hubungan Islam dengan negara dan sains. Karena sifat syariat Islam yang abadi dan menyeluruh, maka peran negara dalam penerapan syariat Islam, tidak bisa dihindarkan. Di Indonesia, pelaksanaan ekonomi syariat Islam dalam hal perkawinan, wakaf, zakat, pemakaman, dan sebagainya, akhirnya melibatkan peran negara. Itu untuk mencegah kekacauan di tengah masyarakat.

 Islam tidak memiliki trauma sejarah hubungan antara agama dengan negara – sebagaimana di Eropa -- sehingga Islam tidak memerlukan konsep sekulerisasi kenegaraan. Sebab, sejak awal, Islam telah memandang antara agama dan negara adalag dua ’entitas’ yang berbeda, tetapi bisa saling menguatkan.

Dalam soal hubungan antara Islam dengan sains pun demikian. Islam telah menetapkan konsep keilmuan yang integral dan tidak mempertentangkan antara ilmu-ilmu agama (ulumuddin) denga ilmu-ilmu empiris dan rasional. Semua itu ilmu dan ada kedudukannya masing-masing. Bahkan, ketiga jenis ilmu itu harus digunakan secara integral dalam memahami dan memecahkan masalah-masalah kehidupan.

Jadi, umat Islam tidak silau dan tidak anti-pati dengan berbagai kemajuan ilmu pengetahuan yang diraih oleh agama atau peradaban lain. Itu hal biasa dalam perjalanan sejarah peradaban manusia. Umat Islam didorong untuk meraih kemajuan sains dan teknologi tanpa mengorbankan keimanan dan syariat agamanya. Jadi, umat Islam tidak pernah kehilangan pegangan dalam memahami dinamika perkembangan zaman. Sebab, konsep-konsep Islam masih terpelihata

Lanjut baca,

https://member.adianhusaini.id/member/blog/detail/memandang-agama-agama-dengan-adil

 

Dipost Oleh Super Administrator

Admin adianhusaini.id

Post Terkait

Tinggalkan Komentar