Artikel Terbaru ke-2.026
Oleh: Dr. Adian Husaini (www.adianhusaini.id)
Dalam pidato pertamanya setelah dilantik sebagai Presiden RI, 20 Oktober 2024, Presiden Prabowo Subianto mengajukan gagasan tentang “demokrasi khas Indonesia”. Prabowo mengatakan:
“Kita dari sejak dahulu memikirkan kehendak dari para pendiri bangsa kita ingin menjadi bangsa yang berdemokrasi. Kita menempatkan kedaulatan rakyat setinggi-tingginya dalam dasar negara kita. Pancasila. Kerakyatan merupakan sendi utama dari kelima sila yang kita junjung tinggi. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawawaratan perwakilan. Kita menghendaki kehidupan demokrasi, tapi marilah kita sadar bahwa demokrasi kita harus demokrasi yang khas untuk Indonesia. Yang cocok untuk bangsa kita. Demokrasi yang berasal dari sejarah dan budaya kita. Demokrasi kita harus demokrasi yang santun. Demokrasi di mana berbeda pendapat harus tanpa permusuhan. Demokrasi di mana mengoreksi harus tanpa caci maki. Bertarung tanpa membenci. Bertanding tanpa berbuat curang. Demokrasi kita harus demokrasi yang menghindari kekerasan, adu domba, hasut-menghasut. Harus yang sejuk, demokrasi yang damai, demokrasi yang menghindari kemunafikan. Hanya dengan persatuan dan kerja sama kita akan mencapai cita-cita para leluhur. Bangsa yang gemah ripah loh jinawi, toto tentrem kertoraharjo. Bangsa yang baldatun toyyibatun warabbun ghafur.”
Demikianlah gagasan Presiden Prabowo tentang demokrasi. Sebenarnya, secara umum, gagasan demokrasi khas Indonesia itu sudah dirumuskan oleh para pendiri bangsa kita dalam Pembukaan UUD 1945. Misalnya, demokrasi itu harus berlandaskan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Bagi umat Islam, Ketuhanan Yang Maha Esa adalah Tauhid dalam ajaran Islam. Itulah yang dirumuskan oleh para ulama dalam Munas Alim Ulama NU di Situbondo, Jawa Timur, tahun 1983.
Adalah sangat menyimpang jika Ketuhanan Yang Maha Esa diartikan sebagai kebebasan untuk tidak beragama, sebagaimana pernah diusulkan oleh Partai Komunis Indonesia (PKI). Juga, tidak tepat jika Ketuhanan Yang Maha Esa diartikan, bahwa manusia Indonesia berhak untuk tidak taat kepada ajaran dan tuntunan Tuhan Yang Maha Esa.
Jadi, demokrasi khas Indonesia adalah demokrasi yang berketuhanan. Bagi umat Islam, itu artinya, demokrasi Islam (Islamic democracy). Karena keragaman masyarakat Indonesia, maka Bung Karno mengajukan gagasan Piagam Jakarta. Sampai tahun 1965, Presiden Soekarno masih menghadiri peringatan Hari Lahir Piagam Jakarta pada 22 Juni 1965. Ketika itu Bung Karno masih menegaskan, bahwa Piagam Jakarta adalah yang mempersatukan seluruh rakyat Indonesia.
Gagasan Bung Karno itu sangat logis. Piagam Jakarta sebenarnya memberikan otonomi kepada agama-agama di Indonesia, khususnya pemeluk agama Islam, untuk melaksanakan ajaran agamanya sendiri. Saat ini, umat Islam mendapatkan kekhususan dalam pelaksanaan sejumlah syariat Islam, seperti bank Islam, universitas Islam, sekolah Islam, asuransi Islam, jaminan produk halal, dan sebagainya. Dan kekhususan untuk umat Islam itu terbukti tidak menghancurkan keutuhan NKRI.
Lanjut baca,
https://member.adianhusaini.id/member/blog/detail/mencari-demokrasi-khas-indonesia