Oleh: Dr. Adian Husaini (www.adianhusaini.id)
Pada 27 November 2017 lalu, laman Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta (www.aptisi.or.id) memuat satu berita berjudul: “Perguruan Tinggi Terancam Bangkrut Akibat Pendidikan Online”. Berita itu mengutip buku Clayton Christensen berjudul ‘The Innovative University‘dan penulis terkenal Henry Eyring. Menurut analisis mereka, pendidikan online akan menjadi pilihan pendidikan yang efektif, dan membuat pendidikan dengan model bisnis tradisional tertinggal.
Christensen memprediksi 50 persen dari 4.000 perguruan tinggi di AS akan bangkrut dalam 10 hingga 15 tahun yang akan datang. Pendapat itu pun diamini Departemen Pendidikan AS dan proyek Moody’s Investros Service.
Meski demikian, Christensen memberi catatan bahwa satu hal yang tak bisa digantikan oleh pendidikan online yakni peran dosen. Dalam penelitiannya, ia menemukan alumni yang sukses memberi banyak bantuan atau donasi ke kampusnya karena dosen atau pelatih yang dulu mengajar. (Sumber : https://www.cnnindonesia.com/gaya-hidup/20171124184341-282-257912/pendidikan-online-berpotensi bikin-bangkrut-perguruan-tinggi/).
Itu tahun 2017. Kini, pada 24 April 2020, di tengah merebaknya wabah virus Corona, Ketua Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (Aptisi) Budi Djatmiko mengatakan bahwa 50 persen mahasiswa tidak sanggup membayar Sumbangan Pembinaan Pendidikan (SPP) karena terdampak wabah covid-19 atau virus corona.
Menurut Budi, dampak mahasiswa tidak bisa bayar SPP membuat banyak PTS terancam tidak mampu membayar upah dosen dalam waktu dekat. Kasus ini terjadi khususnya pada kampus skala kecil dan menengah. Faktanya, setidaknya 75 persen PTS di Indonesia berskala kecil, 20 persen menengah dan 5 persen besar. (Sumber: https://www.cnnindonesia.com/nasional/20200424143440-20-496979/dampak-corona-50-persen-mahasiswa-pts-tak-bisa-bayar-spp).
Lanjut baca,
http://member.adianhusaini.id/member/blog/detail/mencegah-perguruan-tinggi-dari-kebangkrutan