Artikel Terbaru (ke-1.604)
Oleh: Dr. Adian Husaini (www.adianhusaini.id)
Pada 26 Juli 2023, Majelis Ulama Indonesia (MUI) genap berusia 48 tahun. Selamat untuk MUI yang telah berjaya melampaui banyak tantangan berat dan masih tetap mendapat kepercayaan umat. Selama 10 tahun (2000-2010) saya menjadi pengurus MUI Pusat di Komisi Kerukunan Umat Beragama. Saya merasakan banyaknya tantangan dan ujian itu.
Mulai tahun 2020, sebagai Ketua Umum Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia (DDII), saya tergabung kembali sebagai anggota Dewan Pertimbangan MUI, yang dipimpin oleh Prof. KH Ma’ruf Amin. Dalam berbagai kesempatan, saya menolak ditambahkan gelar KH pada nama saya. Sebab, KH itu identik dengan ulama. Dan ulama itu tanggung jawabnya sangat berat, khususnya di akhirat.
Di dunia pun, MUI sudah mengalami ujian berat ketika harus menentukan sikap atau keputusan yang bertentangan dengan aspirasi sebagian umat dan kebijakan penguasa. Kondisi inilah yang dialami Buya Hamka ketika pada tahun 1981 memilih untuk mengundurkan diri sebagai Ketua Umum MUI.
Ketika itu MUI di dudukung oleh majelis-majelis ulama se-Indonesia mengeluarkan fatwa, bahwa menghadiri Perayaan Natal Bersama adalah haram hukumnya. Menteri Agama ketika itu tidak berkenan dengan penyebaran fatwa tersebut. Dengan pertimbangan tertentu, akhirnya Buya Hamka memilih mundur dan tetap mempertahankan fatwa itu.
Kasus serupa terjadi tahun 2005, ketika MUI mengeluarkan fatwa haramnya umat Islam memeluk paham Sekulerisme, Pluralisme, dan Liberalisme. MUI harus berhadapan dengan banyak tokoh yang sebagian juga pengurus MUI sendiri. Bahkan, menurut cerita H. Maftuh Basyuni (alm.), Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sempat mendapat laporan, bahwa MUI mengeluarkan fatwa yang mengharamkan kebhinekaan.
Dalam sambutannya saat penutupan acara Munas MUI ke-1, pada 27 Juli 1975, Buya Hamka menyatakan, bahwa ulama-ulama yang tergabung dalam MUI itu laksana “kue bika” yang dipanggang dari atas dan bawah. Dari bawah dinyalakan api. Itulah berbagai keluhan masyarakat terhadap pemerintah. Dari atas dihimpit api pula. Itulah harapan-harapan pemerintah supaya rakyat diinsafkan dengan bahasa rakyat itu sendiri.
Jika terlalu berat ke atas, maka putus dari bawah. Itu artinya berhenti jadi ulama yang didukung rakyat. Terlalu berat ke bawah, hilang hubungan dengan pemerintah. Bisa saja pemerintah menuduh ulama tidak berpartisipasi dalam pembangunan.
“Memang sangat berat memikul beban ini. Kalau gelar ulama kita terima, padahal perbaikan diri, terutama peningkatan iman tidak kita mulai pada diri kita sendiri, niscaya akan turut hanyutlah kita dalam gelombang zaman sebagai sekarang, dimana orang berkejar-kejaran karena dorongan ambisi mencari dunia, mencari pangkat, mengambil muka kepada orang di atas, menjilat sehingga pernah terdengar suara-suara yang mengatakan: bahwa ulama bisa dibeli,” kata Buya Hamka.
Lanjut baca,
MENYAMBUT 48 TAHUN MUI: ALHAMDULILAH TETAP DIPERCAYA MEMANDU JIHAD UMAT (adianhusaini.id)