Oleh: Dr. Adian Husaini (www.adianhusaini.id)
Akhir Ramadhan 1441 H ditandai dengan satu peristiwa penting dalam dunia pendidikan. Pada 30 Ramadhan 1441 H. berdirilah satu asosiasi Peguruan Tinggi Islam yang diberi nama Asosiasi Kampus Berbasis Akhlak Mulia (AKBAM).
Berdirinya AKBAM merupakan kelanjutan dari Diskusi Nasional Online pada hari Kamis, 21 Mei 2020 yang mengusung: “Masa Depan Perguruan Tinggi Islam Pasca Pandemi Covid-19.”
Diskusi itu diikuti ratusan peserta yang sebagian besar mewakili berbagai Perguruan Tinggi Islam (Sekolah Tinggi, Pesantren Tinggi, Institut, Universitas). Pada tahap awal, ditetapkan bahwa kriteria anggota asosiasi ini adalah kampus yang bersepakat dan bersungguh-sungguh menjadikan iman, taqwa, dan akhlak mulia sebagai standar utama kompetensi kelulusan.
Dengan terbentuknya asosiasi ini diharapkan akan terjalin sinergi antar Perguruan Tinggi Islam, untuk berjuang bersama-sama menjadi Perguruan Tinggi yang unggul. Selanjutnya akan dibentuk Tim Kecil untuk menindaklanjuti hal-hal yang lebih teknis. Begitu Deklarasi diumumkan pada 30 Ramadhan 1441 sore hari, maka sejumlah kampus mendaftarkan diri sebagai anggota AKBAM.
Jumlah Perguruan Tinggi Islam di Indonesia diperkirakan mencapai 6000, baik yang formal maupun non-formal. Ada sejumlah bentuk Perguruan Tinggi Islam, seperti universitas, Institut, Sekolah Tinggi, dan Pesantren Tinggi (Ma’had Aliy).
AKBAM menerima keanggotaan Perguruan Tinggi Islam baik yang formal maupun non-formal. Sebab, AKBAM bersifat non formal dan lebih mengedepankan substansi. Dalam diskusi online 21 Mei 2020, saya mengajak para peserta untuk memperhatikan dengan sungguh-sungguh masalah Perguruan Tinggi. Sebab, inilah babak terpenting dari jenjang pendidikan.
Adalah Prof. Syed Muhammad Naquib al-Attas yang mengangkat masalah strategisnya peran Perguruan Tinggi Islam bagi penyelesaian masalah umat Islam. Sebab, pada umumnya umat Islam masih bergantung pada universitas-universitas modern yang – kata Prof. Naquib al-Attas – merupakan simbol ‘kezaliman’. Universitas modern tidak lagi merupakan tempat untuk melahirkan manusia yang utuh (al-insan al-kulliy), sebagaimana fungsinya dalam peradaban Islam.
Prof. al-Attas kemudian mengajukan konsep ‘ta’dib’ dan ‘Islamisasi ilmu-ilmu kontemporer’ sebagai solusi atas problematika umat Islam tersebut. Pada tahun 1987, al-Attas mewujudkan gagasannya dengan mendirikan International Institute of Islamic Thought and Civilization (ISTAC) di Kuala Lumpur.
Lanjut baca,
http://member.adianhusaini.id/member/blog/detail/menyambut-asosiasi-kampus-berbasis-akhlak-mulia