Oleh: Dr. Adian Husaini (www.adianhusaini.id)
Musyawarah Nasional Majelis Ulama Indonesia (MUI) ke-10, pada 25-27 November 2020, telah menetapkan jajaran pimpinan MUI 2020-2025. Banyak analisis beredar di media resmi maupun tak resmi. Sepatutnya, kita tetap membudayakan sikap “tabayyun”. Jangan mudah menerima dan menyebar kabar yang tidak jelas sumbernya.
Jabatan adalah amanah. Apalagi bagi para ulama. Mereka diamanahi sebagai pelanjut perjuangan para nabi. Amanah itu sangatlah berat. Karena itu, kita doakan para pimpinan MUI akan dapat mengemban amanah, sebaik-baiknya.
MUI, sebagai wadah musyawarah para ulama, umara, dan tokoh masyarakat, kita harapkan mampu melihat berbagai masalah umat Islam secara arif, komprehensif, kritis, dan cerdas. Kita mengakui berbagai ketidakdilan yang menimpa umat Islam. Kita tidak menafikan kemungkinan adanya berbagai upaya dan rekayasa untuk melemahkan, memecah belah, atau memarjinalkan umat Islam dalam berbagai sektor kehidupan.
Namun, kita pun perlu melihat masalah secara adil dan seimbang. Dimanakah letak masalah yang sebenarnya. Jika ada pihak-pihak atau kekuatan yang ingin melemahkan atau tidak menginginkan umat Islam bangkit sebagai umat yang kuat, maka itu sudah sangat masuk akal.
Sebagaimana dalam arena percaturan internasional, baik politik, ekonomi, atau lainnya, masing-masing negara, perusahaan, atau peradaban ingin tampil sebagai kekuatan yang paling berpengaruh. Prof. Samuel Huntington, seorang aktor intelektual dalam perumusan kebijakan politik internasional pasca Perang Dingin menulis dalam bukunya The Clash of Civilization and The Remaking of World Order: “It is human to hate. For self definition and motivation people need enemies: competitors in business, rivals in achievement, opponents in politics.”
Di sinilah kita – sebagai satu ummat yang menerima amanah risalah Rasulullah saw – dihadapkan pada satu realitas dan kompetisi kehidupan di dunia. Kita dituntut menghadapi percaturan dan kompetisi global ini dengan sikap dan pikiran jernih, dan berani menghadapi kehidupan, dengan menampilkan umat Islam sebagai “khaira ummah” dalam berbagai aspek kehidupan.
Umat Islam tentu tidak ingin dihina, dilecehkan, dan diperlakukan tidak adil. Maka, tidak ada pilihan, kecuali kita menjadi umat dan bangsa yang kuat, baik dalam bidang pendidikan, ekonomi, sosial, politik, sains dan teknologi, atau bahkan militer.
Kita berharap, MUI dapat memandu umat Islam dan pemerintah untuk berpikir proporsional. Disamping telunjuk kita arahkan keluar, kita juga harus berani melakukan koreksi total terhadap kondisi internal kita (umat Islam) sendiri. Sebagai bangsa Muslim terbesar di dunia, kita bertekad untuk bangkit menjadi bangsa terbaik.
Tentu ini memerlukan kerja keras di berbagai sektor kehidupan. Semua itu hanya bisa kita capai dengan ilmu. Sebagai umat yang cerdas dan memegang amanah risalah Nabi Muhammad saw, kita tidak perlu terpancing dan terjebak dengan aksi-aksi sporadis yang justru melemahkan kekuatan umat Islam sendiri. Semangat yang tinggi dalam beragama, jangan sampai berujung pada sikap ekstrim (tatharruf), yakni menjalankan ajaran agama secara berlebihan, sehingga melampui batas-batas ajaran agama itu sendiri.
Lanjut baca,
https://member.adianhusaini.id/member/blog/detail/mui-dan-percaturan-peradaban-global