Oleh: Dr. Adian Husaini (www.adianhusaini.id)
Syahdan, tahun 2018 lalu, dalam sebuah acara wisuda sarjana studi Islam tingkat S-1, seorang pimpinan kampus mengumumkan bahwa ada seorang lulusannya yang diterima kuliah di Universitas Islam Madinah (UIM). Ia mengumumkan itu dengan penuh rasa syukur. Lulusan itu diterima di UIM juga di tingkat S-1.
Ketika menyampaikan orasi ilmiah dalam acara wisuda tersebut, saya sampaikan dengan nada “bercanda”, bahwa seharusnya peristiwa itu bukan disyukuri. Sebab, itu sejenis “penghinaan”. Itu artinya, lulusan S-1 di kampus tersebut tidak diakui setingkat dengan S-1 UIM.
Tentu saja, teman-teman saya para pimpinan di kampus tersebut “senyum-senyum”. Mereka paham, saya sedang tidak melecehkan atau sedang bercanda. Tapi, saya sedang mengajak kita semua berpikir serius.
Mengapa negeri dengan jumlah penduduk muslim di atas 200 juta orang ini belum punya satu Pusat Studi Islam yang membanggakan seperti halnya universitas Islam Madinah, Universitas al-Azhar Cairo, Universitas Internasional Afrika di Khartoum Sudan, dan sebagainya.
Saat ini kita sudah memiliki pusat studi al-Quran tingkat S1 bahkan sampai S-3. Tetapi, coba sebutkan, di manakah tempat mendidik anak-anak kita, sehingga mereka menjadi ahli tafsir al-Quran dan sekaligus menjadi pejuang penegak kebenaran? Begitu juga untuk bidang-bidang studi ulumuddin lainnya, seperti studi hadits, studi sejarah Islam, studi fiqih dan ushul fiqih, studi bahasa Arab, studi pendidikan Islam, dan sebagainya.
Hingga kini, ribuan santri dan pelajar-pelajar muslim dari berbagai pelosok Indonesia memimpikan untuk bisa kuliah di UIM. Sejumlah sekolah Islam di Indonesia dan Malaysia yang pernah saya kunjungi berjuang untuk mendapatkan sertifikasi dari UIM, agar lulusannya dimudahkan untuk diterima di UIM.
Berdasarkan kunjungan saya ke sejumlah universitas Islam di Arab Saudi, Sudan, Mesir, Malaysia, dan sebagainya, keunggulan kampus-kampus tersebut terlatak pada tiga hal: (1) Kualitas dosennya (2) kualitas sarana dan prasarana kampus (3) kualitas mahasiswanya.
Sedangkan kelemahannya terletak pada aspek: (1) pendidikan yang bersifat massif, (2) kurikulum pendidikan yang “terlalu” linier, kurang lintas disiplin (3) kurang pembinaan kepribadian mahasiswa (4) kurang pembinaan kemampuan komunikasi lisan dan tulisan (5) tidak ada pengajaran sejarah dan budaya Indonesia.
Lanjut baca,