Oleh: Dr. Adian Husaini (www.adianhusaini.id)
Di Hari Pahlawan ini, ada baiknya kita mengenang satu pemikiran penting dari Mohammad Natsir, seorang Pahlawan Nasional. Pak Natsir dikenal sebagai Tokoh Mosi Intergal yang mengembalikan Indonesia ke bentuk Negara Kesatuan. Ia juga dikenal sebagai tokoh Islam yang sangat responsif dan antisipatif terhadap problematika umat Islam dan bangsa Indonesia.
Di Majalah Serial Media Dakwah No 100, tahun 1982, dimuat pernyataan Mohammad Natsir dan sejumlah tokoh Islam yang datang langsung ke DPR, memprotes buku Pendidikan Moral Pancasila (PMP) yang dipaksakan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan.
Begini kata Pak Natsir: "PMP itu artinya Pendidikan Moral Pancasila. Saya termasuk generasi yang orang boleh menyebutkan generasi 3 masa. Masa Penjajahan Belanda, masa Jepang, dan masa kemerdekaan. Saya masuk generasi yang turut mengikuti perkembangan di waktu menyusun UUD kita. Dan di waktu menyusun dan sesudah itu, sewaktu diproklamirkan pada tanggal 18 Agustus, tidak pernah saya merasakan atau mendengar bahwa Pancasila itu dimaksudkan sebagai sumber moral. Tidak pernah satu perkataan moral bagi orang beragama samawi tinggi sekali harkatnya. Moral bukan ciptaan dari pikiran-pikiran akal manusia semata."
Menurut Mohammad Natsir, tidak ada satu pun dari lima sila Pancasila yang bertentangan dengan Islam. Akan tetapi, berlainan soalnya, jika Pancasila secara sengaja diisi dengan faham-faham yang memang sudah bertentangan dengan ajaran Islam. Jika faham-faham itu sudah dimasukkan dalam Pancasila, maka Pancasila tidak akan bisa melakukan fungsinya yang utama, yaitu sebagai Pemersatu Bangsa Indonesia.
"Malah dia bisa menjadi buah pertengkaran terus-menerus," kata Pak Natsir, yang tahun 2008 ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional.
Ketika itu, Mohammad Natsir dan para tokoh Islam merespon kebijakan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Daoed Joesoef yang memberlakukan buku PMP. Para tokoh Islam itu menilai, banyak muatan buku itu yang bertentangan dengan ajaran Islam. Buku-buku PMP untuk SD-SMA dinilai bermuatan paham sinkretisme. Lalu, buku-buku itu dipaksakan kepada anak sekolah atas nama Pendidikan Moral Pancasila.
"Ini suatu taktik yang tidak fair. Maka jika kita berani menolaknya, kita dengar ancaman dari Menteri P&K. Siapa saja yang tidak mau menerima PMP, maka dia itu anti-Pancasila," kata Pak Natsir.
Masih kata Pak Natsir: "Sekarang ini perkataan "Anti-Pancasila" sudah sangat mudah orang menyebutnya dan sangat banyak dipakai sebagai alat pemukul golongan-golongan atau orang yang berbeda paham dengan orang yang memakainya. Ini satu hal yang menyedihkan. Menyedihkan sekali. Dalam waktu 37 tahun kita sudah merdeka ini kita kehilangan satu kekayaan yang sangat berharga, yang dahulu kita miliki waktu kita mulai memperjuangkan kemerdekaan kita dari tangan Belanda, dari tangan Sekutu, dari tangan Jepang. Apa mustika yang hilang itu? Mustika yang hilang itu adalah keterbukaan antara kita sama kita. Sekarang ini tak ada keterbukaan sama sekali."
Para tokoh Islam yang hadir ke DPR waktu itu mengkritisi pemikiran dan kebijakan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan yang menjadikan Pancasila sebagai jiwa seluruh rakyat Indonesia; sebagai pandangan hidup bangsa Indonesua; sebagai kesadaran bangsa Indonesia; ditambah lagi sebagai cita-cita moral bangsa Indonesia dan sebagai watak bangsa Indonesia.
"Kalau sudah begitu fungsi Pancasila, timbul pertanyaan dimana gerangan akan dapat tempat lagi Agama di dalam kehidupan rohani bangsa Indonesia ini? Dimana lagi dapat ditempatkan Pola Hidup Islam?" tulis Pak Natsir.
Lanjut baca,