Artikel Terbaru (ke-1.625)
Oleh: Dr. Adian Husaini (www.adianhusaini.id)
Mungkin kita cukup sering mendengar ungkapan pejabat negara yang menyatakan, bahwa Indonesia itu bukan negara agama dan bukan negara sekuler. Ada yang menyatakan, Indonesia adalah “negara religius”, tetapi bukan negara agama, dalam arti, diatur hanya oleh satu agama saja.
Gagasan semacam ini pernah disampaikan oleh seorang tokoh dan filosof Katolik, Prof. Dr. N. Drijarkoro S.J., dalam Seminar Pancasila ke-1 di Yogyakarta, 16-20 Februari 1959. Ia membahasan hubungan antara “Pancasila dan Religi”. Seminar diselenggarakan oleh LIGA PANCASILA, bertempat di Sasono Hinggil Dwi Abad.
Tujuan Seminar ada dua, yaitu: (1) Merumuskan ajaran Pancasila dalam segala bidang kenegaraan dan kemasyarakatan, (2) Memperkaya dan memperdalam ajaran yang timbul dari Pancasila. Seminar dikunjungi rata-rata oleh sekitar 1250 orang yang terdiri dari anggota Liga Pancasila seluruh Indonesia, para sarjana dan peminat ajaran Pancasila, serta para undangan dan wakil organisasi.
Para pembicara yang tampil dalam acara tersebut adalah (1) Menteri P.P. & K, Prof. Dr. Priyono yang berbicara tentang “Pancasila dan Moral Nasional”, (2) Prof. Mr. Muhammad Yamin, yang menyampaikan tema “Tinjauan Pancasila terhadap Revolusi Fungsional”, (3) Prof. Dr. N. Driyarkara, S.J., yang berbicara tentang “Pancasila dan Religi”, (4) Prof. Mr. Drs. Notonagoro membawakan tema “Berita Pikiran Ilmiah tentang Kemungkinan Jalan Keluar dari Kesulitan Mengenai Pancasila Sebagai Dasar Negara Republik Indonesia”, dan (5) H. Roeslan Abdulgani yang menyampaikan makalah berjudul “Pancasila sebagai Landasan Demokrasi Terpimpin.”
Terkait dengan tema Pancasila dan Religi yang dibawakan oleh tokoh Katolik Prof. Dr. N. Driyarkara S.J., Seminar di Yogyakarta tersebut membuat sejumlah kesimpulan, bahwa:
“Negara yang berdasarkan Pancasila bukanlah negara agama, tetapi bukan negara profan, sebab dengan Pancasila, kita berdiri di tengah-tengah. Tugas negara yang berdasarkan Pancasila hanyalah memberi kondisi yang sebaik-baiknya pada hidup dan perkembangan religi. Dengan demikian oleh negara dapat dihindari bahaya-bahaya yang dapat timbul bila agama dan negara dijadikan satu.”
Juga ditegaskan oleh Prof. Dr. N. Driyarkara S.J:
“Negara yang berdasarkan Pancasila bukanlah negara yang sekular, karena mengakui dan memberi tempat pada religi. Tetapi hal itu tidak berarti bahwa negara itu adalah negara agama, sebab negara tidak mendasarkan diri atas sesuatu agama tertentu. Negara yang berdasarkan Pancasila adalah negara yang “potentieel religieus” artinya memberikan kondisi yang sebaik-baiknya bagi kehidupan dan perkembangan religi. Jadi negara Pancasila itu tidak bersikap indifferent terhadap religi. Perumusan Ketuhanan Yang Maha Esa harus dipandang menurut keyakinan bangsa kita yakni sebagai monotheisme.” (Tentang hasil-hasil Seminar Pancasila ke-1 di Yogyakarta, lihat buku berjudul Bung Karno dan Pancasila yang disunting oleh Pamoe Rahardjo dan Islah Gusmian, (Yogyakarta: Galang Press, 2002).
Lanjut baca,
PEMIKIRAN FILOSOF KATOLIK TENTANG HUBUNGAN NEGARA DAN AGAMA (adianhusaini.id)