Oleh: Dr. Adian Husaini (www.adianhusaini.id)
Pada hari Kamis (7/4/2022), saya bertugas mengisi kajian dhuhur di Masjid al-Furqan Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia. Ada sekitar 60 orang jamaah shalat dhuhur yang bertahan mengikuti kajian dhuhur selama sekitar 40 menit. Inilah salah satu keunikan suasana Ramadhan di Indonesia.
Setelah dilanda pandemi selama 2 tahun, alhamdulillah, masjid, mushalla, dan perkantoran mulai semarak lagi menyelenggarakan Kajian Dhuhur secara offline (luring/luar jaringan). Masjid al-Furqan Dewan Da’wah pun tidak ketinggalan. Setiap hari menggelar Kuliah Dhuhur, sebagaimana banyak masjid lainnya. Acara juga disiarkan secara streaming, melalui akun YouTube Dewan Da’ah Official.
Pada kesempatan itu, saya menyaksikan jamaah tampak serius mengikuti Kuliah Dhuhur. Mereka – disamping pengurus dan karyawan Dewan Da’wah – juga ada yang karyawan perkantoran sekitar Jalan Kramat Raya 45 Jakarta Pusat. Tentu saja itu adalah aktivitas ibadah yang mulia. Mencari ilmu adalah aktivitas sangat mulia dan berpahala besar. Apalagi, dilakukan di bulan Ramadhan.
Maka, harapannya adalah bahwa penceramah dan para jamaah bisa meraih pahala dan ilmu yang bermanfaat (ilmu nafi’). Inilah doa yang dianjurkan Rasulullah saw: Allahumma innaa nas-aluka ‘ilman naafi’an. Ya Allah, kami memohon kepada-Mu, karuniakanlah kepada kami ilmu yang bermanfaat.
Akan tetapi, kepada para jamaah itu, saya juga mengingatkan bahaya penyakit “sekolahisme”. Penyakit “sekolahisme” – definisi saya sendiri -- adalah penyakit pemikiran yang menyamakan pendidikan dengan sekolah. Nama lainnya, formalisme! Asal sudah bersekolah atau sudah kuliah, dianggap sudah berpendidikan. Jika tidak sekolah, maka dianggap tidak berpendidikan.
Karena menganggap pendidikan itu hanya ada di sekolah atau lembaga formal, maka aktivitas kajian Dhuhur Ramadhan atau pengajian di Majelis Ta’lim dipandang bukan termasuk pendidikan yang serius. Sebab, mengaji di masjid itu bukan sekolah atau bukan kuliah formal. Mungkin hal itu dianggap semacam rekreasi rohani.
Karena memandang kajian itu bukan pendidikan atau bukan sekolah/kuliah, maka sikap pendengar pun sekedar mendengar. Kadang mereka tersenyum atau tertawa ketika ustadnya lucu. Atau, mungkin menundukkan kepala karena mengantuk. Kadang kala ada yang mendengar kajian sambil bersantai menyandarkan badannya di dinding atau tiang masjid.
Kepada para jamaah, saya mengingatkan, bahwa di masa Nabi Muhammad saw tidak ada sekolah atau universitas formal. Apakah itu berati di masa Nabi tidak ada pendidikan? Tentu, di masa Nabi ada pendidikan. Bahkan, pendidikan Nabi adalah model pendidikan terbaik, yang berhasil melahirkan satu generasi terbaik (khairun naas).
Pendidikan di masa Nabi adalah model pendidikan yang integral dan sepanjang waktu. Tidak ada sejengkal bumi pun yang bukan tempat untuk mendidik. Tidak satu waktu pun berlalu, tanpa dijadikan sebagai proses pendidikan. Dan tujuan pendidikan itu pun jelas, yakni bagaimana menanamkan nilai-nilai kebaikan, sehingga seorang menjadi manusia yang baik. Proses penanaman nilai-nilai inilah yang merupakan inti sari atau jantungnya pendidikan.
Lanjut baca,
https://member.adianhusaini.id/member/blog/detail/sekolahisme-dan-ibadah-ramadhan