Artikel ke-1.700
Oleh: Dr. Adian Husaini (www.adianhusaini.id)
Setelah 25 tahun reformasi, sejumlah tokoh melampiaskan kekecewaannya dengan nada sangat memilukan. Harapan mereka akan kehidupan masyarakat dan bangsa Indonesia yang lebih baik, tampak semakin redup. Pemimpin yang dulunya mereka harapkan menjadi pemimpin teladan, kemudian mereka kecam habis-habisan.
Dulu, 25 tahun lalu, di tahun 1998, Orde Baru ditumbangkan dengan harapan Korupsi, Kolusi, Nepotisme (KKN) akan hilang dan bangsa Indonesia menjadi semakin baik kehidupannya. Kini, utang luar negeri semakin tinggi, korupsi juga terus membudaya di seantero negeri, mulai bupati sampai tingkatan menteri dan beberapa pejabat tinggi.
Upaya memperbaiki kondisi masyarakat dan bangsa Indonesia memang perlu dilakukan terus-menerus. Tetapi, konsep reformasi itu perlu dirumuskan dengan komprehensif. Jangan sampai pergantian kekuasaan terus-menerus melahirkan penguasa baru yang kualitas pemikiran, kepemimpinan, dan akhlaknya lebih buruk dari sebelumnya.
Tidak ada salahnya, jika konsep NKRI ideal kembali digagas dengan serius. MPR bisa membentuk Panitia Ad Hoc, seperti “Panitia Sembilan” yang dibentuk Bung Karno, tahun 1945. Pemahaman terhadap Pencasila dan UUD 1945 perlu dirumuskan dengan matang dan komprehensif. Jangan sampai pemahaman itu dirumuskan berdasarkan kepentingan politik jangka pendek.
Konsep Bung Karno dalam pembentukan Panitia Sembilan masih cukup relevan dijadikan sebagai dasar berpikir. Perlu dicarikan rumusan konsep kenegaraan dan pembangunan – termasuk konsep ekonomi, pendidikan, kebudayaan, hankam, dan sebagainya – yang mengakomodasi pemikiran Islam dan pemikiran lainnya.
Tetapi, secanggih apa pun konsepnya, pada akhirnya yang menentukan keberhasilan pembangunan bangsa kita adalah unsur manusianya. Dua pilar bangsa yang harus sama-sama baik, yaitu pilar penguasa dan pilar ulama (cendekiawan). Rumus Imam al-Ghazali masih relevan untuk digunakan: rakyat rusak karena penguasa rusak; penguasa rusak karena ulama rusak; dan ulama rusak karena cinta harta dan kedudukan.
Artinya, disamping kita memerlukan penguasa yang baik – baik akhlaknya, pemikirannya, dan kepemimpinannya – kita juga memerlukan ulama-ulama dan cendekiawan yang baik. Terutama, yang baik akhlaknya dan benar ilmunya.
Ulama jangan hanya dijadikan komoditas politik untuk dijadikan sebagai penggalang suara dukungan bagi calon penguasa. Bahasan lainnya, ulama dijadikan sebagai pendorong mobil mogok. Setelah mobilnya jalan, ulamanya ditinggalkan. Bukan begitu cara membangun bangsa!
Lanjut baca,
SETELAH 25 TAHUN REFORMASI, KECEWA LAGI, KECEWA LAGI (adianhusaini.id)