Oleh: Dr. Adian Husaini (www.adianhusaini.id)
Pada 24 November 2020 lalu, ada peristiwa penting di DPR-RI. Badan Legislasi (Baleg) DPR hari itu, memutuskan bahwa Rancangan Undang-Undang Ketahanan Keluarga (RUU-KK) kandas.
Lima Fraksi menolak RUU-KK, yaitu Fraksi PDIP, Golkar, PKB, Demokrat, dan Nasdem. Sementara empat fraksi lainnya yang setuju RUU-KK dibahas untuk dijadikan undang-undang yaitu Fraksi PKS, Gerindra, PAN, dan PPP.
Sejumlah Fraksi mengungkapkan alasan mereka menolak RUU-KK, karena RUU tersebut belum cukup urgen untuk dibahas. "PDIP menyatakan RUU-KK ini tidak diperlukan mengingat Undang-Undang No 52/2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga sudah cukup mengakomodir," kata anggota Baleg Frakis PDIP, MY Esti Wijayati. Hal senada juga disampaikan Fraksi Partai Golkar.
"Berdasarkan alasan tersebut dan hasil kajian dengan mempertimbangkan asoprasi dengan ini Fraksi Partai Golkar menyatakan menolak karena RUU Ketahanan Keluarga belum menjadi kebutuhan mendesak untuk diundang-undangkan," ucapnya, seperti dikutip republika.co.id.
RUU-KK merupakan RUU usulan DPR yang masuk ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2020. RUU tersebut diusulkan oleh sejumlah anggota DPR diantaranya Netty Prasetiyani (PKS), Ledia Hanifa Amaliah (PKS), Sodiq Mudjahid (Gerindra), dan Ali Taher Parasong (PAN). Para pengusul RUU Ketahanan Keluarga menyayangkan tak dilanjutkan usulan tersebut untuk dibahas di DPR.
"Terus terang saya secara pribadi dan amat sangat manusiawi bersedih ketika dari sembilan fraksi, lima fraksi menolak. Namun tentu saja kami menghormati sikap para anggota dan fraksi yang tidak bersepakat," kata Netty dalam rapat pengambilan keputusan harmonisasi atas RUU Ketahanan Keluarga, Selasa (24/11).
Politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS) tersebut menegaskan, RUU tersebut tak ada sedikitpun untuk melakukan homogenisasi keluarga di Indonesia. Dirinya juga menegaskan, tidak ada sedikitpun keinginan mengintervensi ruang privat dan merecoki pengasuhan, serta memecah belah persatuan bangsa dan negara melalui RUU tersebut.
"Saya berharap (penolakan) itu bukan karena anggota belum membacanya secara utuh, atau bahkan karena membaca draf awal atau juga bukan alasan subjektifitas terhadap para pengusul," ungkapnya.
Lanjut baca,