Oleh: Dr. Adian Husaini (www.adianhusaini.id)
Hari Senin (15/2/2021), saya menghadiri undangan dari sebuah yayasan pendidikan di Jawa Tengah untuk menyampaikan paparan tentang konsep pendidikan Islam ideal, khususnya untuk tingkat SMA. Secara umum saya sampaikan, bahwa yang pertama kali perlu ditentukan adalah tujuan pendidikan, lalu kurikulum untuk mencapai tujuan tersebut.
Yang pertama kali perlu dicatat, bahwa pendidikan tingkat SMA adalah Pendidikan untuk orang dewasa. Anak-anak SMA biasanya berkisar usia sekitar 15-18 tahun. Dalam konsep Pendidikan Islam, itu artinya mereka sudah masuk kategori usia “dewasa”, karena sudah akil-baligh.
Para siswa SMA itu sudah mukallaf. Artinya, mereka sudah mendapatkan beban pelaksanaan syariah. Mereka sudah bertanggung jawab terhadap keimanan dan amal perbuatan mereka sendiri. Maka, kewajiban orang tua dan guru adalah mendidik para siswa SMA, agar mereka mampu mandiri sebagai orang dewasa. Ini yang utama.
Sepatutnya, pendidikan pada tingkat SD dan SMP, telah menyiapkan anak-anak itu menjadi orang dewasa. Lulus SMP, mereka sudah dewasa. Maka, imannya sudah harus benar; ibadahnya benar; mengajinya benar; begitu juga adab dan akhlaknya harus baik. Inilah tanggung jawab pendidikan yang utama; yakni menanamkan adab dan meraih ilmu yang fardhu ‘ain. Ilmu-ilmu lainnya bisa ditambahkan sesuai dengan kemampuan dan keperluan praktis.
Biasanya, dalam dunia Pendidikan pada umumnya, usia 15-18 tahun belum dianggap dewasa. Mereka disebut remaja (adolensence). Ketentuan konsep remaja itu tidak didasarkan pada ilmu wahyu (revealed knowledge), tetapi berdasarkan penelitian empiris yang sangat tergantung kepada kondisi kejiwaan objek penelitian. Sedangkan kondisi kejiwaan objek penelitian itu sendiri, ditentukan oleh proses pendidikan yang diterimanya. Jika objek yang diteliti adalah komunitas anak-anak yang belum matang jiwanya, maka hasil yang diraih pun akan menyimpulkan ciri-ciri anak bingung. Sebaliknya, jika yang diteliti adalah anak-anak muda yang sudah mantap iman dan pemikirannya, tentu hasil penelitiannya akan menghasilkan ciri-ciri anak yang berbeda. Ilmu empiris (empirical knowledge) seperti ini, tidak bisa mengalahkan konsep ilmu wahyu yang sudah baku.
Dalam sebuah hadits dari Abdullah bin Umar r.a. disebutkan, bahwa Rasulullah saw memanggil Abdullah bin Umar untuk hadir ke hadapan beliau menjelang Perang Uhud. Ketika itu usia Abdullah 14 tahun (qamariyah). Dan Rasul tidak mengijinkannya ikut berperang. Kemudian Rasulullah saw kembali memanggil Abdullah hadir ke hadapan beliau menjelang Perang Khandaq. Usia Abdullah bin Umar ketika itu 15 tahun. Rasulullah saw lalu mengijinkan Abdullah berperang.” Nafi’ berkata, “Aku datang kepada Umar bin Abdul Aziz yang merupakan Khalifah pada waktu itu dan menyampaikan riwayat tersebut. Khalifah berkata, “Usia ini (15 tahun) adalah batas antara anak-anak dan dewasa.” Dan beliau perintahkan kepada para gubernur untuk memberikan tunjangan kepada siapa saja yang telah mencapai usia 15 tahun.” (HR Bukhari).
Lanjut baca,