SOLUSI AL-MAWARDI UNTUK INDONESIA 2024

SOLUSI AL-MAWARDI UNTUK INDONESIA 2024

 Oleh: Dr. Adian Husaini (Peneliti INSISTS)

Situasi politik Indonesia menjelang Pemilihan Presiden 2024-2029 semakin terasa menghangat. Mungkin dalam hari-hari dan bulan-bulan ke depan suhunya akan terus meningkat. Kecuali, jika para elite politik Indonesia mampu melakukan aksi-aksi nyata untuk mendinginkan suhu politik di negeri ini.

Sistem kenegaraan Indonesia memang sudah memutuskan untuk menerapkan sistem pemilihan Presiden secara langsung. Sistem ini telah melahirkan dua Presiden, yaitu Susilo  Bambang Yudhoyono dan Joko Widodo. Keduanya menjadi presiden selama dua periode. Maka, tahun 2024, harus ada calon presiden baru yang terpilih.

Ada sejumlah nama yang sudah digadang-gadang oleh para elite politik itu. Sebagian sudah mengumumkan secara resmi. Sebagian lagi masih menunggu saat yang tepat. Proses demokrasi prosedural mengharuskan partai-partai untuk berkoalisasi agar meraih kuota minimal 20 persen kursi anggota DPR pusat, untuk pencalonan.

Sebenarnya, dalam khazanah pemikiran politik, ada sejumlah sistem kenegaran dan mekanisme pergantian kepala negara yang digagas dan telah diterapkan sepanjang sejarah. Demokrasi memang salah satu cara dalam pemilihan pemimpin.

Tetapi, mekanisme demokrasi ini dikritik oleh Plato, filosof Yunani Kuno. Plato (429-347 BC) menyebut empat kelemahan demokrasi. Salah satunya, pemimpin biasanya dipilih dan diikuti karena faktor-faktor non-esensial, seperti kepintaran pidato, kekayaan, dan latarbelakang keluarga.

Plato memimpikan munculnya “the wisest people” (orang-orang paling bijak) sebagai pemimpin ideal di suatu negara, “The wisest people is the best people in the state, who would approach human problems with reason and wisdom derived from knowledge of the world of unchanging and perfect ideas.”  (Lihat: Marvin Perry, Western Civilization: A Brief History, (Boston: Houghton Mifflin Company, 1997) .

Sebenarnya, di Barat pun, demokrasi diterapkan secara selektif. Mereka tidak percaya, bahwa umat manusia yang mayoritas dapat menghasilkan keputusan yang baik buat dunia internasional.

Karena itu, sejak awal berdirinya PBB, 24 Oktober 1945, Barat memaksakan sistem “aristokratik”, dimana kekuasaan PBB  diberikan kepada beberapa buah negara yang dikenal sebagai “The Big Five” (AS, Rusia, Perancis, Inggris, Cina). Kelima negara inilah yang mendapatkan hak istimewa berupa hak ‘Veto’ (dari bahasa Latin: veto, artinya: saya melarang).  Lima negara ini merupakan anggota tetap dari 15 anggota Dewan Keamanan PBB. Sisanya, 10 negara, dipilih setiap dua tahun oleh Majelis Umum PBB. Pasal 24 Piagam PBB menyebutkan, bahwa Dewan ini mempunyai tugas yang sangat vital yaitu “bertanggung jawab untuk memelihara perdamaian dan keamanan internasional”. Jika satu resolusi diveto oleh salah satu anggota tetap Dewan Keamanan PBB, maka resolusi itu tidak dapat diterapkan. (Charles Patterson, United Nations, (New York: Oxford University Press, 1995).

Di Indonesia, saat ini, sistem aristokrasi juga sudah diterapkan dalam mekanisme pengambilan keputusan oleh Mahkamah Konstitusi. Sembilan hakim Mahkamah Konstitusi dipandang lebih mampu menentukan keputusan secara adil dibandingkan ratusan anggota DPR. Produk hukum yang telah disepakati oleh DPR bisa dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi. Artinya, jumlah banyak tidak dipandang lebih menjamin kebijakan dibandingkan dengan keputusan beberapa “orang bijak”.

 

Lanjut baca,

https://member.adianhusaini.id/member/blog/detail/solusi-al-mawardi-untuk-indonesia-2024

 

Dipost Oleh Super Administrator

Admin adianhusaini.id

Post Terkait