Artikel Terbaru ke-1.986
Oleh: Dr. Adian Husaini (www.adianhusaini.id)
Dunia pendidikan kedokteran di Indonesia sedang berduka. Kasus meninggalnya seorang mahasiswi Pendidikan Dokter Spesialis (PDS) di Semarang memicu terbongkarnya banyak kasus perlakuan tidak wajar terhadap mahasiswa kedokteran, khususnya peserta PDS. Bukan hanya kekerasan verbal dan fisik, tetapi juga tekanan finansial. Banyak mahasiswa PDS mengalami depresi dan beberapa diantaranya berpikir untuk mengakhiri hidupnya.
Tentu saja hal ini tidak bisa dianggap remeh. Para dokter yang mengalami pendidikan yang buruk di kemudian hari bisa menjadi pelaku baru terhadap para yuniornya. Lingkaran setan pendidikan yang salah ini akhirnya terus berjalan tanpa penyelesaian. Kini, pemerintah melalui Kementerian Kesehatan dan Kementerian Pendidikan berusaha menangani kasus ini dengan pendekatan sanksi disiplin dan bahkan sanksi hukum.
Apakah usaha itu akan berhasil? Kita doakan saja. Jika serius, insyaAllah akan ada hasilnya, meskipun mungkin belum mengatasi permasalahan secara mendasar. Masalah pendidikan kedokteran ini sudah pernah diingatkan oleh Prof. Satryo Soemantri Brodjonegoro, Dirjen Pendidikan Tinggi Kemendikbud periode 1999-2007.
Tahun 2023, Prof. Satryo menulis artikel berjudul: “DEHUMANISASI PENDIDIKAN KEDOKTERAN”. Artikel ini dimuat di situs resmi Lembaga Layanan Pendidikan Tinggi (LLDIKTI) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Wilayah 12 (Maluku dan Maluku Utara) (https://kopertis12.or.id).
Dengan tegas, Prof. Satryo menyatakan, “Tujuan pendidikan kedokteran telah menyimpang jauh dari yang seharusnya...”
Menurut Prof. Satryo, kalangan perguruan tinggi menganggap fakultas kedokteran merupakan mesin uang perguruan tinggi. Terjadi simbiosis mutualistis antara calon mahasiswa kedokteran dan fakultas kedokteran. “Gejala ini sangat tidak sehat karena mengorbankan mutu dan hakikat pendidikan kedokteran. Pada akhirnya mengorbankan masyarakat di mana kegiatan pelayanan dokter telah berubah jadi kegiatan transaksional berbiaya tinggi,” tulisnya.
Lalu, ia menyarankan, “Pendidikan kedokteran harus mampu menciptakan masyarakat yang sehat melalui dokter yang dihasilkannya, pendidikan kedokteran harus humanis supaya tidak menyimpang dari hakikatnya, yaitu menyelamatkan manusia. Apabila tidak dilakukan pendekatan humanis, pendidikan tidak akan bermakna untuk masyarakat.”
Tentu kita sangat setuju dengan saran Prof. Satryo tersebut. Bahwa, pendidikan kedokteran harus bersifat humanis. Dokter adalah profesi yang sangat mulia karena memberikan pelayanan dan penyelamatan terhadap manusia. Para dokter memiliki peluang besar menjadi manusia yang paling mulia, karena mereka – dengan ilmu dan keahliannya – memberikan manfaat besar kepada sesama insan.
Sebenarnya, proses dehumanisasi bukan hanya terjadi di pendidikan kedokteran. Tapi, terjadi juga dalam dunia pendidikan secara umum. Pendidikan harusnya ditujukan utamanya untuk melahirkan manusia-manusia yang baik, sebagaimana diamanahkan pasal 33 ayat 3, UUD 1945.
Lanjut baca,