Artikel ke-1.570
Oleh: Dr. Adian Husaini
(Ketua Umum Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia)
Kamis, 22 Juni 2023, Piagam Jakarta – yang kini menjadi Pembukaan UUD 1945 – genap berumur 78 tahun. Kamis malam itu saya menggelar acara Kuliah Umum melalui media zoom, dengan tema: “TAFSIR BARU PIAGAM JAKARTA.”
Ternyata, Kuliah Umum itu diminati banyak peserta, baik dari kalangan mahasiswa, santri, guru, dosen, dan aktivis dakwah. Ada juga pejabat tinggi negara dan anggota DPR yang mengikutinya. Kapasitas zoom yang 300 tidak dapat menampung.
Ada seorang dosen yang bertanya, dimana unsur “baru” dalam kajian malam itu. Saya memaparkan sejumlah data yang jarang dibahas dalam berbagai diskusi dan kajian tentang Piagam Jakarta. Berpuluh tahun saya sudah menekuni masalah ini dan tahun 2009 menulis buku berjudul “Pancasila bukan untuk Menindas Hak Konstitusional Umat Islam” (Jakarta: GIP, 2009).
Beberapa data penting seputar Piagam Jakarta adalah: (1) Pada tanggal 22 Juni 1965, Presiden Soekarno menghadiri peringatan Hari Lahir Piagam Jakarta. Presiden menyatakan, bahwa: “Jakarta Charter itu adalah untuk mempersatukan Rakyat Indonesia yang terutama sekali dari Sabang sampai Merauke, ya yang beragama Islam, yang beragama Kristen, yang beragama Budha, pendek kata seluruh Rakyat Indonesia dari Sabang sampai Merauke dipersatukan!”
(2) Pernyataan penulis Kristen, IJ Satyabudi: “Lalu, siapa sebenarnya yang lebih cerdas dan menguasai ruang persidangan ketika merumuskan Sila Pertama itu? Sangat jelas, Bapak-bapak Islam jauh lebih cerdas dari Bapak-bapak Kristen karena kalimat “Ketuhanan Yang Maha Esa” itu identik dengan “Ketuhanan Yang Satu”! Kata Maha Esa itu memang harus berarti Satu. Oleh sebab itu, tidak ada peluang bagi keberbagaian Tuhan. Umat Kristen dan Hindu harus gigit jari dan menelan ludah atas kekalahan Bapak-bapak Kristen dan Hindu ketika menyusun Sila Pertama ini.” (Lihat, IJ Satyabudi, Kontroversi Nama Allah, 1994)
(3) Tokoh Katolik J. Soedjati Djiwandono yang mengusulkan agar “Pembukaan UD 1945 itu diganti. Usulan itu ditulisnya dalam sebuah artikel di Harian Suara Pembaruan (9 Februari 2004), dengan judul ‘Mukadimah UUD 1945 Tidak Sakral, Perlu Diganti’. Soedjati lalu mengusulkan: “Secara logis dan jelas RI seharusnya adalah negara sekuler, dalam pengertian yang paling mendasar, yaitu dipisahkannya politik dari agama, antara "kekuasaan" agama dan kekuasaan politik atau negara.”
(4) Penegasan makna sila “Ketuhanan Yang Maha Esa” yang merupakan rumusan pengganti sila pertama Piagam Jakarta, yaitu: Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.”
Bahwa, kedudukan kelima sila Pancasila tidaklah sama. Yang terpenting adalah sila Ketuhanan Yang Maha Esa. Ini ditegaskan dalam Munas Alim Ulama NU di Situbondo, tahun 1983: Sila “Ketuhanan Yang Maha Esa” sebagai dasar Negara Republik Indonesia menurut pasal 29 ayat 1 Undang-undang Dasar (UUD) 1945, yang menjiwai sila yang lain, mencerminkan tauhid menurut pengertian keimanan dalam Islam.
Lanjut baca,
TAFSIR BARU PIAGAM JAKARTA (adianhusaini.id)