Oleh: Adian Husaini (www.adianhusaini.id)
Kepada umat Islam, Rasulullah saw meninggalkan dua perkara, yang jika keduanya dipegang teguh, maka umat Islam tidak akan tersesat selamanya. Keduanya, adalah al-Quran dan Sunnah Rasululullah. Allah menjaga otentisitas kitab-Nya melalui para ulama, yang tidak lain merupakan pewaris Nabi. Para ulama itulah yang diberi amanah untuk memahami dan mengajarkan al-Quran dan Sunnah dengan benar kepada umat.
Karena itu, Rasulullah saw mengibaratkan posisi ulama bagi umat Islam adalah laksana para nabi Bani Israil. Beliau juga memposisikan para ulama laksana bintang yang menjadi tempat umat mendapat bimbingan dan petunjuk. Maka, betapa risaunya Rasulullah saw terhadap ulama-ulama yang jahat (al-ulama al-su’). Seburuk-buruk manusia adalah ulama yang buruk. Kerusakan ulama adalah kerusakan Islam. Ulama jahat adalah ulama yang bodoh tetapi berani memberi fatwa atau ulama yang menjual agamanya untuk kepentingan dunia.
Maka, jika kita hendak mengukur bagaimana kondisi umat Islam, lihatlah kualitas ulamanya! Jika orang-orang yang berposisi – atau memposisikan diri -- sebagai ulama tidak memiliki kualifikasi yang ideal, baik dalam ilmu maupun amal, maka itu indikator yang paling absah untuk menyatakan bahwa umat Islam dalam kondisi yang memprihatinkan.
Dan jika ingin melihat masa depan Islam, lihatlah dengan cermat apa yang sedang terjadi dengan lembaga-lembaga pendidikan Islam saat ini? Apakah pesantren kita masih melahirkan ulama sejati? Apakah UIN/IAIN dan perguruan tinggi Islam di Indonesia berpotensi melahirkan ulama yang baik atau justru ulama yang jahat? Untuk apa mereka belajar agama? Untuk meningkatkan ilmu dan ketaqwaan kepada Allah atau untuk mencari dunia?
Sejarah membuktikan, Islam akan berkembang pesat jika dua pilar dalam masyarakat – yaitu ulama dan umara -- baik. Tapi, ada fase-fase dalam sejarah, dimana salah satu dari dua pilar umat itu bobrok atau rusak. Ketika itulah, keberadaan ulama yang baik lebih diperlukan.
Ketika Khalifah al-Makmun memaksakan paham Muktazilah, para ulama Ahlu Sunnah melakukan perlawanan yang gigih. Umat selamat, dan lebih mengikuti ulama ketimbang umara yang jahat. Di zaman penjajahan Belanda, umaranya jelas rusak. Umara-nya kafir. Tetapi, ulama-ulama Islam di Indonesia ketika itu gigih mempertahankan ad-Dinul Islam. Maka, meskipun penjajah kafir berusaha sekuat tenaga menghancurkan Islam, umat Islam lebih mengikuti ulamanya. Meskipun kristenisasi dilakukan dengan sekuat tenaga, hampir tidak ada kaum Muslim yang menjadi Kristen. Lanjut Baca,
http://member.adianhusaini.id/member/blog/detail/ulama-dan-umara