Inisiator dan wakil ketua Majelis Intelektual & Ulama Muda Indonesia (MIUMI), Dr. Adian Husaini, M.Si mengingatkan dua hal yang menjadi tantangan pendidikan Islam saat ini. Pertama, Komersialisasi/bisnis pendidikan, dan kedua; Kurikulum Sekuler.
Adianhusaini.net, Jakarta-- Komersialisasi pendidikan berdampak pada mahalnya biaya pendidikan dan merusak niat dan orientasi para guru dalam mengajar. Mengajar dianggap sebagai profesi untuk meraup uang semata, padahal mengajar adalah bagian dari jihad. “Guru bukan profesi, tapi guru adalah mujahid. Guru tidak boleh mengajar hanya demi uang. Ada uang (gaji) atau tidak ada uang guru harus tetap mengajar’’, paparnnya dalam acara bedah buku “Pendidikan Islam, Membentuk Manusia Berkarakter dan Beradab”, di panggung utama Islamic Book Fair (IBF) Minggu 3 Maret 2013.
Akan tetapi pemerintah dan pengelola pendidikan bertanggung jawab memberi gaji yang layak kepada guru. Bahkan termasuk kedzaliman jika pemerintah dan yayasan pendidikan memberi gaji yang rendah kepada guru. “Jika negara menggaji guru dengan rendah maka itu dzlaim, yayasan memberi gaji yg rendah kepada guru, itu termasuk dzalim , kecuali kalau yayasan tersebut miskin”, lanjut ketua program studi Pendidikan Islam Pasca sarjana UIKA Bogor ini.
Pendiri INSISTS ini juga menyoroti kurikulum sekuler yang mendominasi kurikulum pendidikan di lembaga-lembaga pendidikan Islam. “Saat ini kurikulum pendidikan kita di dominasi oleh kurikulum sekuler. Kebanyakan mata pelajaran yang diajarkan di sekolah-sekolah Islam seperti, sains, sejarah, ilmu-ilmu sosial, dan lain sebagainya masih sekuler”. “Hal ini disebabkan karena kurikulum yang ada tidak disusun berdasarkan konsep Ilmu dalam Islam”, pungkasnya.
Salah satu dampak dari kurikulum sekuler tersebut adalah rendahnya minat para lulusan sekolah Islam untuk menekuni Ilmu Fardhu ‘ain (ulumuddin). Bahkan, “hampir semua alumni terbaik dari sekolah Islam unggulan memiliki persepsi yang keliru ketika melanjutkan ke jenjang perguruan tinggi. Mereka selalu memilih jurusan yang lulusannya menghasilkan materi”, lanjutnya. Sebagai solusi Ustad Adian memandang bahwa umat Islam harus memiliki kurikulum sendiri yang disusun dari konsep ilmu Islam, setelah itu baru lihat kurikulum pemerintah. Yang sesuai dengan Islam diambil dan yang tidak seseuai tidak perlu diambil dan diajarkan di sekolah-sekolah Islam.
Selain itu Ustad Adian juga menekankan pentingnya memberi perhatian terhadap pendidikan tinggi. Sebab, guru dan pendidik adalah lulusan institusi pendidikan tinggi. Beliau mengatakan bahwa, “Selama ini kita salah paham terhadap peribahasa, ‘belajar di waktu kecil bagaikan mengukir di atas batu, belajar di waktu dewasa bagaikan mengukir di atas air’. Sehingga sebagian besar potensi dikerahkan untuk pendidikan dasar. Padahal, jika direnungkan, siapa yang mengukir? Orang dewasa, bukan anak kecil. Sehingga, jika orang dewasa kacau dan rusak, maka anak-anak juga kacau dan rusak.” Oleh karena itu orang Barat hanya memberi beasiswa kepada mahasiwa tingkat S2 dan S3. Tidak memberi beasiswa kepada mahasiswa S1, pelajar di tingkat dasar dan menengah.
Sekilas Isi Buku
Buku Pendidikan Islam Membentuk Manusia Berkarakter dan Beradab yang dibedah merupakan kumpulan artikel dan makalah yang saling berkaitan satu sama lain. Rangkaian makalah dan artikel tersebut mengarah kepada satu tujuan yakni terbentuknya manusia-manusia berkarakter dan beradab, sesuai dengan tujuan pendidikan dalam Islam. Pada bagian pertama dibahas tentang hakikat dan karakter Islam sebagai “agama wahyu” yang menjadi landasan Pendidikan Islam. Tanpa tashawwur (persepsi) yang benar tentang Islam, maka pendidikan Islam akan kehilangan landasannya yang kokoh.
Pada Bab II diuraikan ma’na karakter, adab, dan pribadi ideal menurut Islam, sebagaimana telah ditulis sejak puluhan tahun lalu oleh ulama terkenal Buya Hamka.pada bagian ini dipaparkan juga bahwa pribadi mulia adalah pribadi yang bertakwa dan hidup dalam kebahagiaan. Bahagia di sini bukan seperti yang dipahami oleh banyak orang, pemenuhan syahwat. Tetapi bahagia yang hakiki yang hanya dicapai dengan mengenal Allah dan berusaha hidup dalam ketentuan-Nya.
Pendidikan tidak bisa dilepaskan dari soal ilmu. Sebab, pada hakikatnya, pendidikan adalah proses thalabul ‘ilmi. Kekeliruan dalam pemahaman tentang konsep ilmu akan berujung pada kerusakan. Bahkan, bisa dikatakan, rusaknya suatu masyarakat selalu berawal dari rusaknya ilmu. Sebaliknya, kebangkitan umat Islam juga dimulai dari tumbuhnya budaya ilmu yang benar di tengah umat Islam. Karena itulah, pendidikan Islam harus mampu menumbuhkan budaya ilmu dan meletakkan ilmu pada tempatnya yang mulia. Hal ini dijelaskan pada Bab III.
Buku ini juga memaparkan sejumlah contoh aplikatif pendidikan Islam yang berhasil membentuk pribadi-pribadi teladan dalam sejarah (Bab IV). Pendidikan Islam telah terbukti berhasil melahirkan pribadi mulia seperti Imam Abu Hanifah, Imam Syafi’i, Mohammad Natsir, Pahlawan Diponegoro, dan lain sebagainya. Oleh karena itu pada Bab ini juga diuraikan perlunya Pendidikan Sejarah yang benar, agar sejarah memberi inspirasi pada generasi berikutnya untuk meneladani para pendahulu mereka yang berkarakter mulia.
Pada Bab terakhir diuraikan upaya keliru dalam perbaikan pendidikan Islam di Indonesia. Khususnya upaya liberalisasi pendidikan Islam. Liberalisasi pendidikan Islam terbukti semakin menjauhkan pendidikan Islam dari tujuan yang hakiki, melahirkan manusia yang mulia, manusia yang bertakwa. Penggunaan sikap kritis tanpa disertai adab justeru akan menjauhkan para pencari ilmu dari tujuan ilmu itu sendiri. Upaya perbaikan harus dilakukan secara komprehensip tanpa merubah konsep Islam sebagai agama wahyu, tanpa mengubah konsep ilmu dalam Islam sebagai sarana mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala. (sym)
Sumber dari: https://wahdah.or.id/adian-husaini-tantangan-pendidikan-islam-komersialisasi-dan-sekularisasi/