Oleh: Dr. Adian Husaini (www.adianhusaini.id)
Dalam sejumlah sidang BPUPK (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan/Dokuritu Zyunbi Tyoosa Kai), meskipun tidak mendukung berdirinya negara berdasarkan Islam, sejumlah tokoh pendiri bangsa mengusulkan agar Indonesia merdeka adalah negara yang bersifat religius. Karena itu, jangan sampai negara Indonesia mengabaikan peran agama apalagi merusak ajaran agama-agama.
Pada pembukaan sidang BPUPK (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan/Dokuritu Zyunbi Tyoosa Kai), pada 28 Mei 1945, 62 anggota BPUPK mengucapkan pernyataan, antara lain: “Bahwa kami ingin selekas mungkin datangnya Indonesia merdeka, agar Indonesia sebagai negara dapat menjalankan perbuatan nasional yang pertama ialah merebut kembali tiap-tiap jengkal tanah yang diperkosa oleh musuh”… “Bahwa bangsa Indonesia akan berjuang mati-matian membersihkan tanah airnya daripada jejak kaki musuh yang akan menjerumuskan bangsa dan daerah Indonesia yang tengah membentuk negara merdeka, ke dalam jurang penghinaan penjajah dengan perampasan jiwa dan agama, hak dan harta benda kebangsaan.” (Lihat, RM. A.B. Kusuma, Lahirnya Undang-undang Dasar 1945, (Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum Uiversitas Indonesia, 2004).
Perlu dicatat, bahwa perdebatan di dalam BPUPK didahului dan diliputi oleh situasi kegairahan umat Islam dalam menyongsong kemerdekaan menyusul adanya janji kemerdekaan dari pemerintah Jepang. Pada akhir tahun 1944, Perdana Menteri Jepang Koiso sudah mengumumkan janji kemerekaan kepada Indonesia. Pada 12-14 Oktober 1945, Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi), yang merupakan perhimpunan organisasi-organisasi Islam utama di Indonesia, mengadakan rapat, yang menghasilkan keputusan: bahwa (1) kemerdekaan Indonesia berarti kemerdekaan kaum Muslimin Indonesia, (2) kemerdekaan Indonesia adalah satu syarat penting guna tercapainya kemerdekaan umat Islam Indonesia, untuk menjalankan syariat agamanya dengan semestinya.
Berita rencana kemerdekaan Indonesia juga mendapat sambutan khusus dari Muhammad Amin al-Husaini, mantan mufti Masjid al-Aqsha, Jerusalem, yang ketika itu tinggal di Jerman. Amin al-Husaini mengirimkan surat kepada PM Jepang Koiso melalui Dubesnya di Jerman. Dikatakannya, bahwa sekalian kaum Muslimin di dunia sungguh-sungguh memperhatikan benar-benar nasib Indonesia yang mempunyai penduduk kaum Muslimin lebih dari 60 juta itu.
Surat Amin al-Husaini itu dijaab oleh Syekh Hasyim Asy’ari, pemimpin tertinggi Masyumi, dengan surat sebagai berikut: “Atas perhatian tuan dan seluruh alam Islam tentang janji Indonesia merdeka, Majelis Syuro Muslimin Indonesia, atas nama kaum Muslimin se-Indonesia, menyatakan terimakasih. Assyukru walhamdulilah. Guna kepentingan Islam kami lebih perhebatkan perjuangan kami disamping Dai Nippon sampai kemenangan akhir tercapai. Moga-moga pula perjuangan tuan untuk kemerdekaan negeri Palestina dan negeri-negeri Arab lainnya tercapai. Majelis Syuro Muslimin Indonesia. Hasjim Asj’ari.”
Sementara itu, Imam Amin al-Islami, imam masjid Tokyo, seperti ditulis dalam berita Domei 18 Oktober 1944, menyatakan: “Di seluruh dunia, Indonesia terkenal sebagai Negara Islam. Amanat mufti besar Amin al-Husaini yang turut bergembira dengan perkenan Indonesia merdeka di kemudian hari, jelas menunjukkan bahwa Indonesia merdeka merupakan salah satu soko guru yang kuat guna kemajuan umat Islam. Kemerdekaan Indonesia yang juga berarti kemedekaan kaum Muslimin, sudah tentu saja sangat menggembirakan kita sekalian. Mudah-mudahan umat Islam bekerja segiat-giatnya guna melaksanakan Islam Indonesia, akan bekerja sekemerdekaan Indonesia yang sebenar-benarnya yang penuh diliputi perdamaian dan kemakmuran sebagai Negara Islam yang pertama di Asia Timur Raya.” (Lihat, H. Aboebakar, Sejarah Hidup K.H.A. Wahid Hasjim, (Jakarta: Mizan, 2011).
Lanjut baca,