Artikel ke-1.323
Oleh: Dr. Adian Husaini (www.adianhusaini.id)
Setelah memenangkan pertarungan melawan Komunisme di abad ke-20, kini Barat menjadi penguasa di puncak piramida kekuasaan. Dengan segala kehebatannya itu, ada yang kemudian berpikir, bahwa setelah era dominasi peradaban Barat, maka tidak ada lagi peradaban lain, dengan sistem pemikiran dan kehidupan yang berbeda dengan peradaban Barat, yang akan menggantikan peradaban Barat. Ketika itulah manusia sudah bersepakat untuk menerapkan Demokrasi Liberal.
Era ini merupakan akhir sejarah (The End of History). Ungkapan ‘The End of History’ itulah yang sangat populer di penghujung abad ke-20, yang menempatkan nama Francis Fukuyama sebagai ilmuwan terpopuler bersama Samuel Huntington, selama dekade 1990. Huntington populer dengan bukunya Clash of Civilization and The Remaking of World Order dan Fukuyama populer dengan bukunya The End of History and The Last Man. Segera, setelah penerbitannya, buku Fukuyama mendapatkan banyak pujian. (Francis Fukuyama, The End of History and the Last Man, (New York: Avon Books, 1992).
Buku Fukuyama juga merupakan pengembangan dari artikelnya ‘The End of History?’ di jurnal The National Interest (summer 1989). Dalam makalahnya itu, Fukuyama, mencatat, bahwa setelah Barat menaklukkan rival ideologisnya, monarkhi herediter, fasisme, dan komunisme, dunia telah mencapai satu konsensus yang luar biasa terhadap demokrasi liberal. Ia berasumsi, bahwa demokrasi liberal adalah semacam titik akhir dari evolusi ideologi atau bentuk final dari bentuk pemerintahan.
Dan ini sekaligus sebuah ‘akhir sejarah’ (the end of history). (A remarkable consensus concerning the legitimacy of liberal democracy as a system of government had emerged throughout the world over the past few years, as it conquered rival ideologies like hereditary monarchy, fascism, and most recently communism. More than that, however, I argued that liberal democracy may constitute the “end point of mankind’s ideological evolution” and the “final form of human government,” and as such constituted the “end of history.)”
Dalam bukunya, Fukuyama memasang sederet negara yang pada tahun 1990-an memilih sistem demokrasi-liberal, sehingga ini seolah-olah menjadi indikasi, bahwa – sesuai Ramalan Hegel – maka akhir sejarah umat manusia adalah kesepakatan mereka untuk menerima Demokrasi Liberal. Tahun 1790, hanya tiga negara, AS, Swiss, dan Perancis, yang memilih demokrasi liberal. Tahun 1848, jumlahnya menjadi 5 negara; tahun 1900, 13 negara; tahun 1919, 25 negara, 1940, 13 negara; 1960, 36 negara; 1975, 30 negara; dan 1990, 61 negara.
Pada ‘akhir sejarah’, kata Fukuyama, tidak ada lagi tantangan ideologis yang serius terhadap Demokrasi Liberal. Di masa lalu, manusia menolak Demokrasi Liberal sebab mereka percaya bahwa Demokrasi Liberal adalah inferior terhadap berbagai ideologi dan sistem lainnya. Tetapi, sekarang, katanya, sudah menjadi konsensus umat manusia, kecuali dunia Islam, untuk menerapkan Dmokrasi Liberal.
Pendapat Fukuyama bahwa pada masa akhir sejarah tidak ada tantangan serius terhadap Demokrasi Liberal dan umat manusia – di luar dunia Islam – telah terjadi konsensus untuk menerapkan Demokrasi Liberal adalah merupakan statemen yang sangat debatable dan terbukti kontradiktif dengan sikap Barat sendiri. Dalam memandang ‘demokrasi’, Fukuyama mengadopsi pendapat Huntington, tentang perlunya proses sekularisasi sebagai prasyarat dari demokratisasi. Karena itu, ketika Islam dipandang ‘tidak compatible’ dengan demokrasi, maka dunia Islam juga tidak kondusif bagi penerapan demokrasi yang bersifat sekular sekaligus liberal.
Lanjut baca,
https://member.adianhusaini.id/member/blog/detail/benarkah-sekarang-kita-berada-pada-akhir-sejarah