BERDAKWAH SAJA BISA, APA LAGI YANG LAIN

BERDAKWAH SAJA BISA, APA LAGI YANG LAIN

Artikel Terbaru ke-2.152

Oleh: Dr. Adian Husaini (www.adianhusaini.id)

            Dalam sebuah acara pelatihan penulisan di kalangan mahasiswa Sekolah Tinggi Ilmu Dakwah (STID) Mohammad Natsir, muncullah ide membuat semboyan kampus dakwah. Yakni: “Berdakwah Saja Bisa, Apalagi yang Lain”.  Semboyan itu sangat tepat dan visioner!

            Mungkin masih ada yang berpikir bahwa kerja-kerja dakwah bisa dilakukan dengan sambilan. Tidak perlu pemikiran serius. Jika ada waktu luang atau waktu sisa. Kerja utama adalah bekerja untuk mencari makan. Karena itu, ilmu dan ketrampilan dakwah pun kadang dianggap sebagai ilmu rendahan dan murahan. Berbeda halnya dengan ilmu kedokteran, IT, ekonomi, dan sebagainya.

            Tentu saja hal itu keliru. Imam al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumiddin, bahwa aktivitas dakwah (amar makruf nahi munkar) adalah aktivitas penting yang menentukan hidup matinya atau jatuh bangunnya umat Islam. Jika aktivitas ini lemah, maka umat Islam akan menjadi umat yang lemah dan hancur. Amat banyak ayat-ayat al-Quran dan hadits Nabi saw yang menjelaskan pentingnya pelaksanaan amar makruf nahi munkar. (Lihat: QS Ali Imran: 104, 110, an-Nahl: 125, dan sebagainya).

            Karena menyadari pentingnya aktivitas dakwah yang berkualitas, Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII), terus-menerus melakukan kaderisasi dai dengan sangat serius. Pekerjaan berdakwah merupakan aktivitas paling mulia (QS Fushilat: 33). Inilah aktivitas utama para Nabi yang memiliki sifat wajib untuk melakukan tabligh.

            Berdakwah bukan sambilan. Mengajak orang ke jalan Allah tidak lebih mudah dibandingkan dengan kerja merayu orang agar mau membeli barang dagangannya. Karena itulah, sejak didirikan tahun 1967, DDII terus-menerus mendidik para calon dai untuk bisa diterjunkan di berbagai pelosok Indonesia. Hingga kini, masih ada lebih dari 100 dai senior DDII yang tersebar di berbagai pelosok Indonesia. Mereka masih menerima “honor” bulanan, meskipun sangat kecil jumlahnya.

            Sejak tahun 2006, DDII melakukan kaderisasi dai pada tingkat S2 dan S3. Sudah ada 80 doktor dan 250 master yang dilahirkan dari program ini. Sebagian besar mereka justru berkiprah di lembaga-lembaga dakwah di luar DDII.

            Sejak tahun 1999, DDII mulai memiliki lembaga kaderisasi dai nasional bernama STID M. Natsir. Ini program kaderisasi dai untuk tingkat S1. Program ini punya keunggulan. Para mahasiswa dididik selama enam tahun. Dua tahun mereka dididik di asrama mahasiswa. Dua tahun harus tinggal dan aktif di masjid sekitar kampus pusat di Bekasi, dan dua tahun lagi mereka diterjunkan ke tengah masyarakat. Hingga kini, sudah ada 1100 alumni STID M. Natsir.

            DDII beruntung, karena memiliki tokoh-tokoh dai yang bisa menjadi panutan. Figur utamanya adalah Mohammad Natsir (1908-1993). Pak Natsir merupakan dai, guru, dan sekaligus negarawan teladan. Pemikirannya bisa kita kaji, karena ditulis dalam puluhan buku. Langkah-langkah dakwahnya spektakuler, sangat bijak dan cerdas. Lebih penting lagi, akhlaknya mulia dan bisa diteladani.

            DDII telah menjadikan Mohammad Natsir sebagai sosok utama dalam pelaksanaan dakwah. Mohammad Natsir bisa menjadi dai teladan karena proses pendidikannya. Ia sangat serius dalam mempelajari ajaran-ajaran Islam dan memahami problematika masyarakat dan mencarikan solusinya.

Lanjut baca,

https://member.adianhusaini.id/member/blog/detail/berdakwah-saja-bisa,-apa-lagi-yang-lain

 

 

Dipost Oleh Super Administrator

Admin adianhusaini.id

Post Terkait