Artikel ke-1.320
Oleh: Dr. Adian Husaini (www.adianhusaini.id)
Dalam beberapa hari ini, beredar sebuah spanduk di sebuah jembatan penyebarangan di Jakarta yang berisi seruan anti-jilbab. Spanduk itu memuat foto demonstran anti-jilbab di Iran, bernama: Mahsa Amini, dengan tulisan besar: NYAWA LEBIH BERHARGA DARIPADA JILBAB. Spanduk itu pun dilengkapi dengan tagar: #ANTIPOLIGAMI dan #JAGAPANCASILA.
Kepada seorang yang mengirim foto spanduk itu saya kirim balasan berupa candaan: “Memangnya siapa yang mau poligami dia?”
Tetapi, masalahnya tentu bukan sesederhana itu. Spanduk itu hanya merupakan satu letupan dari timbunan keresahan pada sebagian kalangan di Indonesia terhadap maraknya jilbab. Letupan serupa pernah muncul ketika seorang rektor universitas di Kalimantan menulis di media sosial, tentang kebanggaannya terhadap sejumlah penerima beasiswa yang pintar-pintar tetapi “tidak berjilbab”.
Ada sebuah artikel berjudul “Kebaya vs Hijab” yang mengupas fenomena kontestasi budaya kebaya dan jilbab. Menarik kita simak artikel ini: “Ini bukan untuk mempertentangkan. Tapi lebih sekadar catatan tentang fenomena benturan kebudayaan yang sedang berlangsung di depan mata kita. Bagaimana berbagai jenis kebudayaan saling mempengaruhi masyarakat kita. Kebaya yang ciri khas berpakaian bangsa kita mulai tergeser oleh budaya lain. Budaya berpakaian yang lebih dekat dengan budaya Jawa ini berhadapan dengan budaya Arab.
Perlawanan terhadap hal itu bukan tidak ada. Minggu, 19 Juni 2022, sekelompok perempuan menggelar kegiatan. Di area Car Free Day (CFD), mereka berpawai dengan tema Perempuan Berkebaya Indonesia. Ribuan orang ikut. Termasuk Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi. Lebih dari 3 ribu perempuan mendaftar mengikuti kegiatan ini. Selain jalan pagi, mereka ingin menunjukkan kebaya sebagai pakaian asli yang harus dilestarikan. Gerakan ini menjadi sangat terasa di saat ada pergeseran cara berpakaian orang Indonesia. Dari yang model kebaya menjadi hijab. Jenis pakaian yang lebih berbau Arab. Yang tidak jatang diidentikkan dengan pakaian Islam.” (https://www.ngopibareng.id/read/kebaya-vs-hijab).
Menurut artikel itu, fenomena jilbab sebagai ciri khas muslimah ini menjadi bagian dari masyarakat Indonesia dalam tiga dekade ini. Empat dekade sebelumnya, pengenaan jilbab masih menjadi kontroversi. Bahkan menjadi urusan negara. Ketika itu, ada larangan untuk pelajar atau siswa mengenakan jilbab di sekolah. Juga sejumlah instansi pemerintahan. Karena itu, mereka yang mengenakan jilbab menjadi terdiskriminasi. Mereka menjadi kaum minoritas di berbagai tempat.
Lanjut baca,
https://member.adianhusaini.id/member/blog/detail/beredar-poster-anti-jilbab-di-jakarta