Artikel Terbaru ke-2.069
Oleh: Dr. Adian Husaini (www.adianhusaini.id)
Alkisah, suatu ketika seorang pesohor non-muslim menikahi wanita muslimah. Pernikahannya dibantu seorang guru besar studi Islam, yang berpendapat, bahwa muslimah boleh saja menikah dengan laki-laki non-muslim. Meskipun pendapat ini aneh, tetapi pernikahan itu tetap berlangsung.
Akhirnya, pernikahan itu pun kandas. Alhamdulillah, sang pesohor akhirnya memeluk Islam. Kasus semacam ini banyak terjadi. Alasannya cinta. Pasangan beda agama di Indonesia menempuh berbagai cara agar pernikahan mereka dilegalkan. Tetapi, hukum di Indonesia tetap tak merestui pasangan muslim dan non-muslim untuk menikah. UU Perkawinan No 1/1974 tetap menegaskan, bahwa perkawinan yang sah adalah yang dilakukan menurut agamanya masing-masing.
Konon, di zaman ini cinta begitu dipuja, bahkan tak jarang, cinta dipandang lebih penting dari agama. Sejumlah orang di Indonesia menuntut dibatalkannya Undang-undang yang menghalangi terjadinya perkawinan beda agama.
Mereka menuntut diterapkannya pasal 16 ayat 1 dari “Universal Declaration of Human Right”, yang berbunyi: “Pria-dan wanita dewasa, tanpa dibatasi oleh ras, kebangsaan, atau agama, memiliki hak untuk kawin dan membangun suatu keluarga. Mereka memiliki hak-hak sama perihal perkawinan, selama dalam perkawinan dan sesudah dibatalkannya perkawinan.”
Buya Hamka dalam tulisannya berjudul “Perbandingan antara HAM Deklarasi PBB dan Islam”, mencatat sikapnya tentang pasal 16 ayat 1 Universal Declaration of Human Right: “Yang menyebabkan saya tidak dapat menerimanya ialah karena saya jadi orang Islam, bukanlah “Islam statistik”. Saya seorang Islam yang sadar. Dan Islam saya pelajari dari sumbernya, yaitu Al Quran dan Al Hadits. Dan saya berpendapat bahwa saya baru dapat menerimanya kalau Islam ini saya tinggalkan, atau saya akui saja sebagai orang Islam tetapi syariatnya tidak saya jalankan atau saya bekukan.”
Jadi, Islam jelas menempatkan agama lebih tinggi dari cinta. Sebab, cinta harus dilandasi dan dibimbing oleh agama. Laki-laki dan perempuan bisa saja saling cinta, tetapi rasa cintanya tidak boleh dilanjutkan jika bertentangan dengan ajaran agama. Misalnya, karena masih ada hubungan mahram. Kisah klasik seorang anak yang jatuh cinta pada ibunya tetap dipandang sebagai hal yang terlarang.
Sesama laki-laki dan sesama perempuan pun bisa saja tumbuh rasa saling cinta. Tapi, itu cinta terlarang. Karena itulah, Islam melarang keras praktik homoseksual dan lesbian. Umat Nabi Luth diazab oleh Allah SWT karena melaksanakan praktik yang sangat kotor dan jahat (fahisyah). Karena itu, sekuat apa pun dorongan cinta antar sesama laki-laki dan sesama perempuan, hasrat cinta itu harus ditahan bahkan harus disembuhkan. Itu kelainan. Itu penyakit yang bisa disembuhkan.
Pernah seorang Ustadz berkisah, ia memiliki seorang santri yang mengaku memiliki hasrat cinta kepada sesama laki-laki. Tapi, rasa cinta itu ditahan dan ia terus berusaha menyembuhkan kelainan dirinya. Ia terus menghafal al-Quran dan tekun beribadah serta berdoa kepada Allah. Suatu saat, santrinya ini memekikkan takbir yang keras saat berada di satu area pegunungan. Entah mengapa, tiba-tiba santri itu memiliki hasrat kembali kepada perempuan.
Lanjut baca,
https://member.adianhusaini.id/member/blog/detail/cinta-sejati,-pasti-seiman