Artikel Terbaru ke-2.191
Oleh: Dr. Adian Husaini (www.adianhusaini.id)
Sebuah buku berjudul Intelektualisme Islam: Melacak Akar-akar Integrasi Ilmu dan Agama – Seri Ensiklopedia Islam dan Sains, menulis:
“Matinya filsafat di dalam tradisi pemikiran Islam menunjukkan, secara implisit, hilangnya otoritas kelompok Muktazilah dalam mengendalikan pemerintahan karena ia satu-satunya aliran yang mengagungkan akal. Mereka digantikan oleh kelompok sunni yang lebih menjunjung tinggi wahyu daripada akal. Watak pemikiran sunni yang anti akal, pada giliran selanjutnya, menjelma ke dalam bentuk propaganda “anti-filsafat” dan “filsafat bertentangan dengan agama.” Maka tidak heran jika kemudian muncul tokoh semisal sang hujjah al-Islam, Imam al-Ghazali, seorang tokoh besar dari kalangan sunni, sangat anti filsafat, meskipun sebelumnya ia termasuk pecinta filsafat. Bukunya Tahafut al-Falasifah merupakan bukti sejarah atas ketidaksenangannya terhadap filsafat. Propaganda seperti itu semakin mendapat justifikasi di tangan seorang ahli fiqih yang juga tokoh sunni, Imam Syafi’i, dengan kitabnya ar-Risalah. Sejak saat itu, terjadi penyeragaman pemikiran keagamaan. Lewat karya itu nalar agama diresmikan. Ketika kita bicara tentang Islam dan bagaimana cara untuk menyelesaikan persoalan yang muncul di muka bumi, maka semua jawabannya ada di dalam Al-Qur’an, sebuah ortodoksi keagamaan yang dipaksakan.” (hlm. 279-280).
Pemaparan tentang paham Muktazilah dan Ahlu Sunnah dalam buku tersebut jelas tidak benar. Menyebut bahwa watak pemikiran sunni adalah “anti akal” adalah kekeliruan besar. Sebab, jawaban-jawaban kaum Sunni terhadap pemikiran-pemikiran Muktazilah adalah jawaban-jawaban yang menggunakan akal.
Para ulama Ahlus Sunnah justru telah mendudukkan akal dan wahyu secara proporsional, seperti yang dijelaskan oleh Imam al-Ghazali dalam kitab al-Iqtishad fi l-I'tiqad, bahwa akal itu laksana penglihatan yang sehat dan tidak cacat. Sedangkan Al-Quran adalah laksana cahaya matahari. Untuk bisa melihat, maka seseorang membutuhkan keduanya.
Cermatilah, betapa indahnya perumpamaan yang dibuat Imam al-Ghazali tentang akal dan wahyu (reason and revelation). Allah memberi karunia akal agar digunakan untuk memikirkan ayat-ayat Allah. Bahkan, dalam QS al-Mulk ayat 10, dikatakan, para penghuni neraka menyesali nasibnya, karena selama di dunia tidak mau mendengar dan menggunakan akalnya.
Tentu saja yang diperlukan agar mendapatkan pemikiran yang benar adalah aqal yang sehat dan selamat (aqlun salimun). Jika orang mau menggunakan akalnya dengan ikhlas dan sungguh-sungguh akan diberikan petunjuk oleh Allah.
“Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik.” (QS al-Ankabut: 69).
Karena itulah, dalam memahami al-Quran kita memerlukan panduan dari para mufassir yang memiliki otoritas ilmu. Disamping itu, untuk menerapkan al-Quran dalam konteks zaman ini, diperlukan juga perenungan dan mendalam akan kondisi yang ada (fiqhul waqi’). Misalnya, memahami makna “shaff” dalam al-Quran surat Ash-Shaff.
Lanjut baca,
https://member.adianhusaini.id/member/blog/detail/fitnah-mutazilah-dan-keadilan-ahlus-sunnah