HATI-HATI DENGAN DE-ISLAMISASI BAHASA

HATI-HATI DENGAN DE-ISLAMISASI BAHASA

 Artikel ke-1.256

Oleh: Bana Fatahillah (Guru Pesantren At-Taqwa Depok)

Menurut Prof. Syed Muhammad Naquib al-Attas, sebuah bahasa menjadi bersifat Islam setelah mengalami proses pengislaman (islamization). Proses ini terjadi saat pertama kali al-Qur`an diturunkan melalui bahasa Arab.

Kata ‘mulia’ (karîm), misalnya, —yang dipahami oleh orang  jahiliyah dulu— bahwa orang mulia adalah mereka yang tinggi kedudukannya, nasabnya, jabatannya, hartanya atau lainnya – mengalami proses Islamisasi. Maknanya berubah. Al-Qur`an menjelaskan, bahwa orang yang paling mulia adalah yang paling bertaqwa.

Sebaliknya, jika suatu kata atau istilah sudah menyimpang maknanya dari makna yang seharusnya, maka kata itu mengalami proses ‘penafi-islaman’ (deislamization). Kini, banyak kata-kata penting dalam Islam mengalami proses de-Islamisasi. “Many major key terms in the Islamic basic vocabulary of the languages of Muslim peoples have now been displaced and made to serve absurdly in alien fields of meaning,” tulis al-Attas.

Deislamisasi bahasa terjadi – salah satunya – akibat proses sekularisasi Barat. Menurut al-Attas, masalah utama yang dihadapi peradaban Barat adalah perihal keraguan mereka terhadap ‘kemampuan bahasa’ dalam memberikan hakikat dan kebenaran secara tepat, atau sering disebut perihal representasionalisme.

Walhasil, mereka memiliki kerancuan dalam memahami perbendaharaan bahasa yang tidak memiliki hakikat yang wujud secara materi; seperti  kata tuhan, akal, nafsu, hikmah, ilmu, adab, adil, dll. Ini karena mereka menganut paham materialisme yang mengharuskan adanya wujud materi segala sesuatu. Makna kata-kata yang datang dari Islam itu diputarbalikkan sesuai budaya dan kondisi masyarakat Barat yang sekular.

Sebagai misal, makna kata ‘keadilan’. Bagi masyarakat Barat, keadilan adalah suatu perkara yang berlangsung dalam rangka dua pihak yang merujuk kepada negara dan masyarakat; yaitu antara seseorang dengan orang lain, rakyat dengan raja, atau masyarakat dengan negara.

Begitu juga halnya dengan lawan kata ‘keadilan’, yaitu kezaliman. Makna kata ini hanya berkisar pada dua pihak. Al-Attas mengutip perkataan Aristoteles, bahwa tidak mungkin adanya kezaliman pada diri sendiri. Seseorang yang membunuh dirinya, misalnya, ia tidaklah menzalimi dirinya melainkan negaranya. Karena dengan perbuatannya itu, ia telah meniadakan tugas dan tanggung jawabnya terhadap masyarakat dan negara. (al-Attas, Risalah untuk Kaum Muslimin, hlm. 37)

Kata adil adalah kosa kata yang datang dari Islam, maka seharusnya dimaknai sebagaimana adanya. Dalam kacamata Islam, keadilan berpuncak pada diri sendiri. Seseorang bisa saja berlaku adil atau lawannya –kezaliman– pada dirinya sendiri, sebagaimana firman Allah pada surat (Qs al-A’raf [9] : 172) tentang perjajian ruh pada Allah Swt.

Seorang muslim telah adil pada dirinya, karena ia menepati janji akan tunduk pada Rabb-Nya, yaitu Allah Swt. Perilaku zalim pada diri sendiri pun sudah diakui oleh manusia pertama di muka bumi ini, Nabi Adam dan Siti Hawa, sebagai mana firman Allah Swt: “Mereka berdua berkata: Wahai Tuhan kami, kami telah menzalimi diri kami...” (Qs al-A’raf [9] : 23). Maka muslim dan mukmin yang baik adalah mereka yang berlaku adil dan tidak menzalimi dirinya.

Lanjut baca,

https://member.adianhusaini.id/member/blog/detail/hati-hati-dengan-de-islamisasi-bahasa

 

Dipost Oleh Super Administrator

Admin adianhusaini.id

Post Terkait